Kejam!! Disandera Teroris Selama 40 Jam, Briptu Iwan Sarjana: “Saya Dipukul Dengan Rantai dan Disiram Air Mendidih”

  • Minggu, 13 Mei 2018 - 18:48 WIB
  • Viral
Briptu Iwan Sarjana
Briptu Iwan Sarjana

MANAberita.com — KERUSUHAN yang terjadi di Mako Brimob antara tahanan teroris dengan anggota Polri Indonesia meninggalkan kepedihan yang mendalam. Penyanderaan yang dibarengi dengan kekerasan ini menyebabkan lima anggota polisi gugur.

Salah satu korban yang selamat bernama Briptu Iwan Sarjana akhirnya berani menceritakan pengalaman pahitnya usai menjadi korban sanderaan selama 40 jam di tahanan tersebut. Berikut wawancara eksklusif Briptu Iwan yang dilansir dari Jawapos.

Apa kabar, Mas Iwan?

(Iwan tidak langsung menjawab. Dia menghela napas beberapa detik sebelum merespons) Baik, Mas. Saya mulai sembuh

Semoga cepat sembuh, ya?

Amin. Makasih, Mas.

Saat ini masyarakat ingin mengetahui bagaimana awal mula kejadian penyanderaan itu?

Saat itu saya sedang di ruang pemeriksaan. Mendengar ada ribut-ribut di luar ruangan. Tapi, saya pikir itu hal yang biasa saja. Sebab, memang rutan Mako Brimob ini berbeda dengan rutan atau penjara lainnya.

Baca Juga:
Diduga Mengutil di Pasar Batam, Pencuri Wanita ini Mulutnya Dicabai Emak-Emak

Bedanya apa?

Bila di rutan atau penjara biasa, tahanan dan napi itu segan kepada polisi. Tapi, kalau di rutan Mako Brimob ini, tahanan dan napinya kasus terorisme. Mereka marah, tidak suka, dan melawan kalau dengan polisi. Makanya, setiap ada anggota yang lewat sel, mereka teriak-teriak. Biasanya mereka meneriakkan kata thogut (orang yang membela selain Allah, Red), klaim sepihak kelompok teroris.

Nah, teriakan-teriakan semacam itu biasa terdengar setiap hari. Saya mengira yang biasanya itu. Tapi, ternyata berbeda dari biasanya. Saat saya keluar ruang pemeriksaan di lantai atas dan turun melalui tangga, ternyata banyak tahanan dan napi yang mengepung.

Saat dikepung itu, bagaimana kondisinya?

Mereka mencoba melukai dan melumpuhkan saya dengan berbagai barang yang keras. Batu, meja, kursi, dan sebagainya. Belasan hingga puluhan orang. Tapi, saya berusaha menyelamatkan diri. Saya masuk ke dalam ruang penyidik atau ruang staf. Di sana sudah ada beberapa rekan saya seperti almarhum Pak Yudi Rospuji, almarhum Fandy Setyo Nugroho, dan dua rekan lain seingat saya.

Baca Juga:
Strategi Presiden Jokowi di Tengah Polemik Pencairan JHT 56 Tahun

Kami berupaya menghalau tahanan dan napi masuk ke ruang penyidik. Gagang pintu saat itu sudah jebol. Kami berupaya menahan mereka masuk dengan menggeser kursi dan meja besi di depan pintu. Kondisi sudah crowded atau penuh sesak. Napi mengepung dari segala penjuru. Jendela kaca juga dipecah dengan kursi besi. Tapi, kami semua satu tim masih terus bertahan selama mungkin.

Apakah saat itu membawa senjata dan menembak?

Saya dan anggota membawa senjata. Kami belum memiliki niat untuk menembakkannya karena kami merasa mampu untuk bisa menghalaunya dengan berbagai barang dan dengan tangan. Mereka saat itu ha­nya membawa barang keras, kursi, batu, dan sebagainya. Saya sendiri merasa harus menjaga hak asasi manusia (HAM). Setiap peluru yang saya muntahkan itu dipertanggungjawabkan. Kalau salah, bisa dihukum. Saya dan rekan-rekan tidak ingin melanggar HAM.

Bahkan, senjata kami sembunyikan dari tahanan dan narapidana. Tentunya agar tidak direbut. Namun, ternyata kondisi semakin parah. Saya dan rekan-rekan diseret banyak orang, tahanan dan napi. Saya sudah tidak bergerak melawan. Saya diseret sekitar ratusan meter dari ruang penyidikan ke Rutan Blok A.

Berapa orang yang menyeret?

Baca Juga:
Tega! Bercerai dan Mantan Istri Meninggal, Pria ini Usir 7 Anak Kandungnya dari Rumah

Lebih dari sepuluh orang. Kalau dengan yang memukul dan menendang saya, bisa puluhan orang. Saat diseret itu, saya baru melihat mereka membawa pisau, entah dari mana, gembok, dan rantai.

Apa hal terkeji yang dilakukan teroris itu?

Tidak hanya dipukul, ditendang, rantai itu dipukulkan ke saya. Bahkan, setelah sampai di sel Blok A, mata ditutup kain dan tangan diikat. Saya disuruh menghadap tembok. Selanjutnya, byur… Air mendidih disiramkan ke punggung. Saya berteriak, tapi tetap mencoba bertahan. Sakit bukan kepalang. Tapi, saya yakin ini akan berlalu.

Dari mana air mendidih itu?

Saya tidak mengetahuinya. Saya jarang sekali masuk ke sel tahanan dan napi. Mungkin mereka habis masak atau bagaimana.

Baca Juga:
Inilah Motif Pelaku Perkosa dan Bunuh Calon Pendeta Cantik di Sumsel

Apakah benar tahanan protes soal makanan?

Makanan di rutan itu dari pemerintah sangat baik. Lalu, dengan alasan kemanusiaan, kami memperbolehkan napi mendapatkan makanan dari keluarga yang membesuk karena kemanusiaan. Tapi, bukan berarti tidak diseleksi. Sebab, alasan keamanan, jangan sampai memasukkan sesuatu yang berbahaya.

Akhirnya, setiap makanan yang dibawa pembesuk diperiksa. Hal itu biasa dalam proses pengamanan. Kami tetap ingin manusiawi kepada tahanan dan napi. Tapi, kami juga harus mempertimbangkan keamanan.

Apakah peristiwa ini membuat trauma?

Saya trauma. Tapi, saya sebagai anggota Polri harus tabah dan kuat. (Dil)

Komentar

Terbaru