MANAberita.com – PELANTIKAN Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2019 – 2024 Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin pada Minggu (20/10) dibayang-bayangi aksi radikalisme.
Kasus penusukan Menkopolhukam Wiranto di Pandeglang (10/10) adalah salah satu indikasi bahayanya radikalisme.
Dalam beberapa tahun belakang ini, penyebaran radikalisme dan terorisme jadi perhatian serius pemerintah.
“Mencegah jelas lebih baik untuk menanggulangi terorisme yang berkedok agama, dibandingkan harus menyembuhkan. Dari sinilah pola pemikiran harus dibangun,” ujar pengamat politik Mulyono Misman.
Mulyono mengamati paham radikal tumbuh subur di kalangan marginal. Menurutnya, hal ini terjadi disebabkan oleh ketidakberdayaan Kementerian Agama memaksimalkan potensi yang ada.
“Kemenag kan bisa mengoptimalkan peran Penghulu, Pondok Pesantren, Ulama dan berbagai instrumen lain yang bisa langsung berhadapan dengan masyarakat, saya lihat yang terjadi malah terkesan Kemenag mengambil sikap like dislike dengan beberapa ulama,” jelas Mulyono sambil menunjukkan artikel 200 ulama rekomendasi Kemenag.
Menurut Mulyono, Pemerintah dalam hal ini Kemenag, Tokoh agama dan tokoh masyarakat harus saling bekerjasama untuk menangkal paham radikal ini. Juga melakukan pencegahan dari dalam umat beragama sehingga benih-benih itu tidak timbul.
“Apabila ada orang atau kelompok yang terjangkiti paham radikalisme, hendaknya dilakukan pendekatan keagamaan secara simpatik, sehingga dapat menyadarkan kelompok ini. Perlu juga diadakan ceramah dan diskusi-diskusi yang simpatik dengan kelompok-kelompok yang terkontaminasi oleh kelompok radikal,” kata Mulyono saat ditemui di Kantornya Jalan Hang Jebat (18/10).
Menurut dia, paham radikalisme yang mengarah pada terorisme, sebenarnya bukan masalah baru tapi telah terjadi pada awal perkembangan agama-agama dunia. Kelompok ini salah dalam memahami agama, sehingga mengarah pada radikalisme.
Penyebabnya sebagian karena pemahaman agama yang sempit dan dangkal. Sebab lainnya karena menggunakan agama untuk kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok, atau kepentingan politik.
“Dengan mengatasnamakan agama, mereka meyakini akan dapat mempengaruhi banyak orang, sehingga ambisinya terwujud. Mencegahnya adalah dengan jalan memberikan pemahaman agama secara utuh, integral dan komprehensif sehingga ajaran agama itu tidak dipahami secara parsial yang mengakibatkan terjadi kesalahpahaman,” tuturnya.
Langkah berikutnya adalah memberikan informasi kepada umat beragama agar tidak mudah diprovokasi oleh kelompok ini, sehingga rencana mereka akan gagal. Kaitannya dengan keutuhan NKRI, para penganut agama harus menyadari bahwa NKRI adalah merupakan bagian dari kehidupan beragama. Karena itu wajib dipertahankan dengan sungguh-sungguh.
“Dengan demikian, kehidupan bermasyarakat, beragama, berbangsa, dan bernegara akan menjadi tenang, dan kekacauan akan dapat dihindari dengan baik,” paparnya.
“Paham radikal terorisme tidak bisa diselesaikan dengan cara kekerasan seperti yang dulu digunakan pemerintah Orde Baru. Sekarang pemerintaah dan negara harus hadir melindungi rakyatnya dari ancaman-ancaman yang ditimbulkan dari gerakan tersebut terutama dengan memperkuat ideologi bangsa dan ekonomi rakyat,” jelasnya.
Mulyono mengungkapkan bahwa, ketika masih dalam urusan agama, radikal itu masih bisa didiskusikan di mushola-mushola atau masjid.
“Tetapi bila sudah keluar dari masalah agama dan masuk ke masalah sosial dan politik, serta melibatkan banyak orang, radikalisme itu harus dicegah dan diantisipasi karena itu menjadi pintu masuk radikalisme. Dengan demikian, upaya pencegahan itulah yang harus dikedepankan dalam menciptakan kedamaian dan keutuhan NKRI,” urainya.
Sementara itu, Menteri Agama Lukman Hakim menegaskan bahwa radikalisme dan terorisme adalah musuh bersama.
Hal ini dikatakan Lukman saat membuka acara Parade Santri (13/10) dengan tema Santri Cinta Damai.
“Seluruh pihak kita libatkan, tak ada yang tak berperan dalam pencegahan dan penanganan paham radikal ini, para santri pun ikut serta,” jelas politisi PPP ini.
Melansir detik, dia mengingatkan peran santri dalam menghentikan penyebaran faham radikalisme adalah upaya tak berkesudahan. Hal itu dikarenakan kompleksitas permasalahan dan kebudayaan masyarakat yang terus berubah.
“Ini kan proses yang tidak berkesudahan, never ending proses, karena perubahan masyarakat itu sangat dinamis. Kompleksitas persoalan tidak sederhana, maka kemudian tanggung jawab santri tentu akan lebih besar dalam peradaban bersama,” tandas Lukman Hakim