Manaberita.com -Masyarakat Kabupaten Aceh Tengah memiliki cara unik dan penuh adrenalin dalam merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Sebuah tradisi tua bernama Pacu Kude, atau pacuan kuda tanpa pelana, menjadi atraksi budaya tahunan yang tidak hanya ditunggu oleh warga lokal, tetapi juga menarik puluhan ribu penonton dari seluruh penjuru Tanah Air hingga mancanegara.
Pacu Kude telah menjadi ikon budaya dataran tinggi Gayo dan kini dijadikan agenda resmi pariwisata oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah serta Bener Meriah. Tradisi ini telah mengakar sejak tahun 1850, berawal dari kemukiman Bintang, kawasan paling timur Danau Lut Tawar. Dulu, Pacu Kude dilakukan sebagai bentuk syukuran setelah panen padi (luah berume atau lues belang), tanpa hadiah, dan hanya demi kehormatan yang dikenal sebagai “Gah”.
Menurut catatan sejarah yang ditulis Piet Rusydi dalam bukunya Pacu Kude: Permainan Tradisional di Dataran Tinggi Gayo, tradisi ini mulanya merupakan ajang hiburan pemuda setempat yang memacu kuda liar dengan kain sarung. Seiring waktu, perlombaan ini menjadi semakin serius dan mulai melibatkan lebih banyak kampung.
Selama masa penjajahan Belanda, Pacu Kude diselenggarakan untuk memperingati ulang tahun Ratu Belanda dan pada masa itu pula mulai diperkenalkan hadiah seperti piagam dan jam beker, yang membuat istilah “Kuda Beker” dikenal hingga kini. Setelah Indonesia merdeka, Pacu Kude terus dipertahankan, bahkan berkembang sebagai simbol semangat dan kebanggaan masyarakat Gayo.
Memasuki tahun 2002, arena Pacu Kude dipindahkan dari Gelengang Musara Alun ke lapangan H. Muhammad Hasan Gayo di Belang Bebangka, Pegasing, karena jumlah peserta dan penonton yang terus meningkat. Bahkan, kini kegiatan ini juga digelar di Kabupaten Bener Meriah dan Gayo Lues sebagai bagian dari peringatan hari jadi daerah masing-masing.
Beragam inovasi turut memperkaya tradisi ini. Mulai dari penggunaan starting gate pada 2012 untuk menghindari keributan saat start, hingga pengenalan pelana dan alat keselamatan pada kuda kelas profesional. Bibit kuda pun dikembangkan dari hasil persilangan kuda lokal dengan kuda dari Sumatera Barat dan Australia, menghasilkan kuda pacu unggulan yang dikenal sebagai “kuda Astaga”.
Pacu Kude kini tak hanya mempertontonkan kecepatan, tapi juga memperlihatkan kekayaan budaya dan semangat kolektivitas masyarakat Gayo. Tradisi ini bahkan telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2016.
Sorak sorai penonton dan pekikan khas “Wasaluaaaaaleeeeeeeee!!!” menjadi bagian yang tak terpisahkan dari euforia Pacu Kude. Pekikan ini menjadi sinyal dimulainya pacuan sekaligus aba-aba agar pengunjung tidak berada di lintasan.
Hari ini, Pacu Kude tidak hanya menjadi warisan nenek moyang, tetapi telah menjelma sebagai identitas budaya, sarana persatuan, dan magnet wisata Aceh Tengah. Dan di setiap derap kuda yang berpacu, sejarah dan semangat rakyat Gayo terus hidup, menegaskan bahwa merdeka tak hanya dirayakan, tapi juga diwariskan. (Dikutip dari website Dirjen Kebudayaan Mendikbud RI, 2018/aa)