Manaberita.com -Sejumlah pemilik dan pengusaha sound system yang tergabung dalam komunitas Team Sotok secara resmi mendeklarasikan perubahan nama “sound horeg” menjadi “Sound Karnaval Indonesia”. Deklarasi tersebut dilakukan bertepatan dengan peringatan ulang tahun keenam komunitas tersebut yang berlangsung di Lapangan Desa Gedog Kulon, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Selasa (29/7).
Perubahan nama ini menjadi langkah penting untuk merespons berbagai polemik dan stigma negatif yang selama ini melekat pada istilah “sound horeg”, sebutan untuk sistem suara dengan volume sangat tinggi hingga menyebabkan getaran hebat. Dalam bahasa Jawa, “horeg” sendiri berarti bergetar.
Ketua Paguyuban Sound Malang Bersatu sekaligus pemilik Sound Blizzard, David Stevan, menjelaskan bahwa istilah “sound horeg” awalnya bukan berasal dari para pelaku usaha, melainkan merupakan julukan yang diberikan oleh masyarakat. “Nama sound horeg itu sendiri bukan kami yang memberi, tapi masyarakat,” ujarnya.
David berharap dengan perubahan nama menjadi “Sound Karnaval Indonesia”, masyarakat dapat lebih menerima eksistensi hiburan ini, serta tidak lagi terjadi kegaduhan atau konflik sosial di lingkungan tempat hiburan tersebut digelar. “Kami siap mematuhi aturan pemerintah, dan berharap tidak lagi ada kegaduhan ke depan,” ujarnya.
Deklarasi ini juga merupakan respons terhadap fatwa haram terhadap penggunaan “sound horeg” yang dikeluarkan dalam Forum Bahtsul Masail di Pondok Pesantren Besuk, Pasuruan, Jawa Timur, akhir Juni lalu. Dalam forum yang dihadiri perwakilan 50 pesantren se-Jawa dan Madura itu, disepakati bahwa penggunaan sound system berintensitas tinggi yang menimbulkan mudarat dinilai bertentangan dengan prinsip syariat Islam.
Fatwa haram tersebut kemudian ditegaskan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur melalui Fatwa Nomor 1 Tahun 2025. Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim, KH Ma’ruf Khozin, menyampaikan bahwa penggunaan sound berintensitas tinggi yang menyebabkan gangguan, membahayakan kesehatan, dan merusak fasilitas umum dinyatakan haram secara mutlak.
Selain itu, pertunjukan yang disertai joget tidak senonoh dan pelanggaran norma juga menjadi alasan fatwa tersebut. Namun, dalam fatwa itu ditegaskan bahwa penggunaan sound system secara wajar dan steril dari unsur kemungkaran masih dibolehkan untuk kegiatan positif seperti pengajian dan resepsi pernikahan.
Di sisi lain, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat, KH Miftahul Huda, menilai fatwa saja tidak cukup. Ia menekankan pentingnya tindak lanjut dari pemerintah dan aparat penegak hukum. “Kalau sudah masuk ranah kerusakan lingkungan dan ketertiban, ini menjadi tugas Satpol PP dan kepolisian,” tegasnya.
Menurut Kiai Miftah, fenomena “sound horeg” telah meresahkan masyarakat karena dianggap menyebabkan kebisingan ekstrem, merusak kaca rumah, dan bahkan memengaruhi pendengaran. Beberapa kegiatan disebut juga menampilkan perilaku tidak mendidik yang dapat berdampak buruk pada anak-anak.
Dengan perubahan nama menjadi “Sound Karnaval Indonesia”, para pelaku usaha berharap dapat memperbaiki citra hiburan keliling ini dan memastikan kegiatan mereka selaras dengan nilai-nilai sosial, hukum, dan agama. Upaya ini dinilai sebagai bentuk itikad baik dari komunitas pengusaha sound system untuk meredam polemik dan meningkatkan kualitas pertunjukan yang lebih beretika dan bertanggung jawab. (net/mh)