Manaberita.com -Tak ada denting jam yang terdengar di udara kala itu. Hanya debur air Sungai Musi yang tiba-tiba terpecah oleh kabar duka. Waktu menunjukkan pukul 16.13 WIB, 19 Desember 1997—sebuah pesawat komersial, Boeing 737-300 milik maskapai SilkAir, lenyap di langit Sumatera Selatan dan ditemukan tak lama kemudian hancur berkeping di Sungsang, Musi Banyuasin.
Sudah hampir 25 tahun berlalu. Tapi setiap akhir tahun, langkah-langkah pelan keluarga korban selalu kembali menapak ke satu tempat: Taman Pemakaman Umum (TPU) Lubuk Kawah, Kebun Bunga, Palembang. Di sana, makam massal berdiri sunyi, dikelilingi pagar menyerupai sayap pesawat. Nama-nama itu masih terukir rapi, tak satu pun dilupakan.
Mereka yang gugur berjumlah 104 jiwa—97 penumpang dan 7 awak pesawat. Di antaranya ada anak-anak, pasangan muda, hingga pebisnis yang hendak pulang ke rumah. Ada warga Singapura, Indonesia, Jepang, Jerman, Malaysia, Amerika, Prancis, Inggris, dan beberapa negara lain. Satu dunia berkabung dalam satu tragedi.
Pesawat dengan nomor penerbangan MI-185 itu seharusnya hanya terbang selama satu jam lebih sedikit. Rutenya dari Jakarta ke Singapura. Namun baru sekitar 50 menit setelah lepas landas, pesawat hilang dari radar. Tanpa sinyal darurat. Tanpa peringatan. Tanpa waktu pamit.
Yang ditemukan hanya potongan tubuh, serpihan logam, dan sisa-sisa barang penumpang yang berserak di air. Sungai Musi, yang biasanya tenang, mendadak menjadi saksi bisu kehancuran yang mendalam. Bahkan setelah pencarian selama 18 hari, hanya setengah badan pesawat yang berhasil ditemukan.
Makam mereka di Palembang menjadi rumah abadi bagi mereka yang tak pernah pulang. Tak banyak yang bersuara di sana. Hanya angin yang menyapu, daun-daun yang gugur, dan tangis yang tak selalu terdengar. Tapi setiap peziarah tahu: luka itu belum sembuh seutuhnya.
Misteri penyebab jatuhnya pesawat SilkAir MI-185 pun masih meninggalkan ruang tanya. Dugaan demi dugaan beredar, termasuk spekulasi kelam tentang aksi bunuh diri sang pilot. Namun hingga kini, tak ada kesimpulan final yang bisa menghapus keraguan.
Pilot pesawat, Tsu Way Ming, warga Singapura berusia 41 tahun, dikenal berpengalaman dengan 6.900 jam terbang. Sementara kopilotnya, Duncan Ward, baru 23 tahun, adalah talenta muda dari Selandia Baru. Tapi mesin perekam suara di kokpit berhenti lebih dulu. Lalu, perekam data pesawat menyusul. Seolah segalanya terputus begitu saja. Seolah tak ingin menyisakan jejak.
Pesawat pun jatuh dengan kecepatan di luar batas desainnya. Meledak di udara, lalu terhempas ke sungai. Tubuh-tubuh yang tak lagi utuh disatukan kembali, lalu dikebumikan dalam satu liang bersama kenangan dan doa yang tak selesai.
Kini, 27 tahun telah berlalu. Tapi tidak untuk mereka yang kehilangan. Tidak bagi mereka yang setiap Desember datang, menatap nisan-nisan sunyi, menaruh bunga, dan berbisik dalam hati: “Kami masih ingat.”
Dan Sungai Musi, ia tetap mengalir. Tenang, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Tapi di dasarnya, barangkali masih menyimpan suara-suara yang terhenti sebelum waktunya. (muhammad husni)