Manaberita.com -Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah mulai 2029 kembali memicu perdebatan. Salah satu usulan paling mengemuka adalah perpanjangan masa jabatan anggota DPRD.
Usulan ini disampaikan oleh pakar hukum tata negara Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, dalam diskusi daring bertajuk Ngoprek: Tindak Lanjut Putusan MK Terkait Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPRD, Minggu, 27 Juli 2025. Ia menyebut, dibanding menunjuk penjabat (Pj) kepala daerah yang prosesnya cenderung tidak transparan, memperpanjang masa jabatan pejabat hasil pemilu adalah alternatif yang lebih demokratis dan berlegitimasi.
“Kalau boleh mengusulkan, di antara banyak pilihan lain seperti pemilu sela atau penunjukan penjabat, maka opsi perpanjangan masa jabatan adalah yang paling mengedepankan asas manfaat, legitimasi, dan proporsionalitas perlakuan,” ujar Titi.
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 mengatur bahwa pemilihan anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota serta kepala daerah, digelar paling cepat dua tahun setelah pelantikan presiden dan wakil presiden hasil Pemilu 2029. Artinya, jika presiden dilantik Oktober 2029, maka pilkada dan pileg DPRD digelar paling cepat akhir 2031. Masa jabatan pejabat terpilih 2024 pun secara teknis perlu diperpanjang hingga tujuh tahun.
Titi menggarisbawahi kekhawatirannya terhadap model pengangkatan penjabat kepala daerah. Menurutnya, pengalaman pada periode 2022–2023 menunjukkan pengangkatan Pj kerap terjadi secara tertutup dan minim partisipasi publik.
“Penunjukan Pj selama ini berada di ruang-ruang gelap yang tidak aksesibel, kurang akuntabel. Ini berbahaya bagi demokrasi daerah,” ujarnya.
Ia juga menegaskan pentingnya konsistensi semua pihak dalam menghormati putusan MK. “Putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Mengawal implementasinya bagian dari konsolidasi demokrasi dan kepastian hukum,” tambah Titi.
Usulan serupa sebelumnya juga dilontarkan oleh Mahfud MD, mantan Ketua MK sekaligus pakar hukum tata negara. Dalam sebuah diskusi di Kantor DPP Partai Golkar, Mahfud menyebut bahwa perpanjangan masa jabatan dimungkinkan, selama diatur melalui revisi undang-undang.
“Apa boleh diperpanjang? Boleh. Tapi harus melalui undang-undang, karena jabatan publik harus berlandaskan hukum. Itu amanat konstitusi,” kata Mahfud.
Namun, ia juga mengakui bahwa putusan MK ini menimbulkan polemik. Bahkan sejumlah partai politik peserta pemilu menyebut putusan itu inkonstitusional. “Saya ikut kena semprot karena putusan itu. Tapi yang menganggap inkonstitusional bukan saya, partai resmi yang bilang begitu,” ucapnya.
Sejumlah pihak kini mendesak pemerintah dan DPR segera merespons putusan MK dengan merevisi undang-undang yang relevan. Hal ini penting agar tidak terjadi kekosongan hukum maupun krisis konstitusional di masa transisi.
Ketua DPR RI Puan Maharani sebelumnya juga mengakui bahwa putusan MK ini akan berdampak ke semua partai. Menurutnya, para pimpinan fraksi tengah mengkaji dampaknya terhadap sistem pemilu dan tata kelola pemerintahan daerah.
“Keputusan MK ini punya implikasi luas. Semua partai terkena dampaknya. Karena itu kami sedang mendalami lebih lanjut,” kata Puan di Kompleks Parlemen, awal Juli lalu.
Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan MK, Fajar Laksono Suroso, mengingatkan bahwa Indonesia bukan tanpa pengalaman dalam memperpanjang atau memangkas masa jabatan anggota legislatif. Misalnya, pada 1971 masa jabatan anggota DPR diperpanjang satu tahun untuk menyelaraskan dengan pemilu 1977. Hal serupa terjadi pada 1998 ketika masa jabatan DPR dipotong akibat tekanan reformasi.
“Presedennya ada. Ini bukan hal baru. Yang penting adalah transparansi proses dan dasar hukumnya jelas,” ujar Fajar.
Dengan waktu yang kian sempit menuju Pemilu 2029, para pemangku kepentingan kini dihadapkan pada pilihan yang sulit: memperpanjang masa jabatan demi kepastian hukum, atau tetap pada jadwal lima tahunan dengan risiko kekosongan kekuasaan dan penunjukan penjabat yang rawan intervensi politik. b