Manaberita.com -Sebuah kisah pilu sekaligus menggetarkan nurani bangsa datang dari Desa Jatirejo, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak. Seorang guru ngaji sepuh, Ahmad Zuhdi (63), yang telah mengabdikan hidupnya lebih dari 30 tahun untuk mendidik generasi muda di Madrasah Diniyah Roudhotul Mutaalimin, kini harus menanggung pil pahit yang nyaris tak masuk akal. Zuhdi diminta membayar denda damai sebesar Rp 25 juta—ya, dua puluh lima juta rupiah!—hanya karena menampar murid yang melemparnya dengan sandal saat mengajar.
Yang lebih menyayat hati, gaji Zuhdi selama ini hanya Rp 450.000 setiap empat bulan. Itu artinya, Rp 110.000 per bulan, lebih sedikit dari harga sepasang sandal yang dilemparkan padanya. Ironi terbesar adalah: demi mendidik akhlak generasi, kini sang guru justru dijadikan pesakitan.
“Gajinya empat bulan sekali itu Rp 450.000, ada masalah pasti sedih. Tapi bagaimana lagi,” ujar Zuhdi dalam konferensi pers penuh haru di Mushola Desa Jatirejo, Jumat (18/7) sore.
Namun, di tengah kegelapan itu, secercah cahaya datang menyinari. Pendakwah kondang tanah air, Gus Miftah, turun gunung! Dengan penuh empati dan air mata, ia menjanjikan umrah untuk Zuhdi dan sang istri, mengganti uang denda Rp 25 juta, dan bahkan membelikan sepeda motor baru untuk menggantikan kendaraan tua yang selama ini mengantar Zuhdi menempuh perjalanan 8 kilometer tiap hari untuk mengajar.
“Pak Kyai Zuhdi, uang yang kemarin dikeluarkan untuk nebus, untuk bayar semua urusan itu, saya ganti. Saya cuma ingin bantu guru ngaji yang ikhlas mengabdi, meski digaji tidak layak!” seru Gus Miftah dengan suara bergetar saat mengunjungi rumah Zuhdi di Desa Cangkring B, Sabtu (19/7).
Gus Miftah bahkan mengungkapkan, bantuan ini bukan bentuk pencitraan atau agenda politik. “Bapak saya guru Diniyah. Saat saya melihat Pak Zuhdi, saya seperti melihat ayah saya sendiri.”
Negosiasi akhirnya berhasil menurunkan denda dari Rp 25 juta menjadi Rp 12,5 juta. Namun tetap saja, bayangkan seorang guru sepuh harus menghadapi tekanan hukum hanya karena reaksi spontan membela martabat di tengah kelas.
Kini, lewat tangan Gus Miftah, Indonesia kembali diingatkan: berapa sebenarnya harga pengabdian seorang guru ngaji? Apakah Rp 110.000 per bulan cukup untuk membayar peluh dan keikhlasan mereka?
Kisah Zuhdi bukan hanya potret pilu satu orang guru, tetapi cermin buram wajah dunia pendidikan keagamaan kita. Saat yang ikhlas justru dipaksa tunduk oleh birokrasi dan hukum yang kering rasa, siapa lagi yang akan berdiri di depan papan tulis dengan cinta? (net/aa)