MANAberita.com — DUA berita yang sangat mengkhawatirkan muncul di India baru-baru ini.
Yakni mengenai kesehatan reproduksi wanita dan kurangnya perlindungan bagi wanita kelas pekerja terkait dengan menstruasi.
Geeta Pandey dari BBC News, melaporkan bahwa banyak wanita yang bekerja di ladang tebu di negara bagian Maharashtra, diminta untuk melakukan operasi pengangkatan rahim untuk menghentikan menstruasi sehingga mereka tidak absen kerja lagi saat ‘tamu bulanan’ datang.
Setiap tahunnya, puluhan ribu keluarga dari distrik Beed, Osmanabad, Sangli, dan Solapur, bermigrasi ke wilayah barat India yang dikenal dengan julukan “sabuk gula”.
Ketika sampai di sana, warga miskin ini berada di bawah kekuasaan kontraktor serakah yang menggunakan setiap kesempatan untuk mengeksploitasi mereka.
Pertama-tama, mereka enggan memperkerjakan perempuan karena memotong tebu adalah pekerjaan berat.
Juga karena perempuan dianggap merugikan karena kehilangan satu atau dua hari produktivitasnya selama menstruasi.
Kejamnya, jika para pekerja ini tidak masuk sehari saja, mereka tetap harus membayar penalti.
Pada akhirnya, sekelompok wanita yang kebanyakan berasal dari keluarga miskin dan tanpa pendidikan ini pun, terpaksa membuat pilihan yang memiliki dampak jangka panjang dan fatal yang memengaruhi kesehatan dan kehidupan mereka.
Di salah satu distrik di India Barat itu, tercatat ada 4.605 praktik histerektomi. Kebanyakan dilakukan pada wanita di bawah 40 tahun.
Namun, pada beberapa kasus, pengangkatan rahim ini juga terjadi pada perempuan berusia 20-an.
Bahkan, masih menurut laporan BBC, setengah populasi perempuan di desa Vanjarwadi, sudah melakukan histerektomi.
Karena sebagian besar menikah muda–sudah memiliki dua hingga tiga anak saat berusia 20-an–dan karena dokter tidak memberi tahu tentang masalah yang akan mereka hadapi jika mereka menjalani histerektomi, akhirnya banyak wanita yang percaya bahwa tidak apa-apa untuk menyingkirkan rahim mereka.
Desa tersebut pun sering disebut sebagai “desa wanita tanpa rahim”.
Namun, sebenarnya, intervensi bedah yang tidak perlu ini cukup berbahaya.
Diketahui bahwa itu telah menyebabkan komplikasi parah, nyeri otot dan sendi, rasa pusing yang konstan, hingga pembengkakan ekstrem, pada perempuan-perempuan India.
Selain pengangkatan rahim, laporan dari Reuters juga menunjukkan bahwa banyak perempuan India yang bekerja di industri garmen di Tamil Nadu, sering diberi obat-obatan di tempat kerja ketika mereka mengeluhkan tentang nyeri haid.
Bukannya, diperbolehkan beristirahat ketika sakit menstruasi datang, para wanita pekerja ini justru dicekoki dengan obat tak berlabel.
Seratus wanita diwawancara oleh Thompson Reuter terkait masalah tersebut–kebanyakan berusia 15-25 tahun.
Hasilnya menunjukkan bahwa obat-obatan yang diberikan perusahaan tadi menyebabkan beberapa efek samping mual dan muntah. Itu juga memberikan efek jangka panjang seperti siklus menstruasi yang tidak menentu, depresi, hingga sulit hamil.
Stigma mengenai menstruasi memang menjadi hal umum di India–berkaitan dengan mitos dan nilai-nilai adat di negara tersebut.
Meskipun para aktivis sudah menantang masalah ini, tetapi stigma masih berkembang luas.
Tidak hanya di India, beberapa negara maju pun kesulitan memahami isu menstruasi.
Studi terbaru dari British Medical Journal yang dilakukan pada 33 ribu perempuan di Belanda, mengungkapkan bahwa mereka rata-rata kehilangan produktivitas selama 8,5 hari akibat nyeri dan gejala menstruasi lainnya.
Meski begitu, hanya 14% wanita yang mengaku mengambil izin dari sekolah atau pekerjaan.
Dan sayangnya, ketika mereka meminta cuti, hanya 21% perusahaan yang memberikan mereka waktu istirahat dengan alasan sakit.
Sekitar setengah dari populasi global mengalami menstruasi pada titik tertentu dalam hidup mereka.
Saatnya kita mematahkan tabu dan mulai menerimanya. (Dil)