Manaberita.com – BADAN Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja (BP Jamsostek) memperkirakan bahwa dana kelolaan invetasinya bakal bisa mencapai Rp 1.000 triliun pada tahun 2026 nanti. Hal tersebut lantaran saban bulan, BP Jamsostek menerima premi dari tenaga kerja Rp 6 triliun-Rp 7 triliun.
Bp Jamsostek juga menyebutkan, dengan pengembangan investasi ditambah keanggotaan baru pekerja, maka badan pengelola dana jaminan sosial pekerja ini optimis bisa mendapatkan dana hingga Rp 1.000 triliun dalam 4 tahun-5 tahun ke depan.
Melansir dari Kontan.co.id, Direktur Utama BP Jamsostek Anggoro Eko Cahyo menyatakan bahwa sampai 31 Desember 2021, dana kelolaan investasi BP Jamsostek telah mencapai Rp 553,5 triliun. Angka ini tumbuh 13,64%.
Dus dengan pertumbuhan dana kelolaan itu, kata Anggoro, ruang gerak BP Jamsostek menjadi lebih terbatas. Potensi mendapatkan return yang lebih maksimal menjadi semakin terbatas.
Berdasarkan laporan keuangan, rata-rata imbal hasil program jaminan hari tua BP Jamsostek di kisaran 6%. Rinciannya, di tahun 2018, imbal hasil BP Jamsostek tercatat 6,26%, di 2019 tercatat 6,08%, dan di 2020 imbal hasil di 5,59%.
Adapun dengan total dana investasi BP Jamsostek mencapai Rp 553,5 triliun di akhir 2021, “Imbal hasil investasi di kisaran 6,95%,” imbuh Edwin Ridwan, Direktur Pengembangan Investasi Jamsostek di acara yang sama. Sepanjang tahun 2021, BPJS Ketenagakerjaan membukukan hasil investasi senilai Rp 35,36 triliun . Realisasi hasil investasi tersebut meningkat 9,37% secara tahunan atau year-on-year (yoy).
Edwin menyebut, dengan dana pengelolaan investasi menuju Rp 1.000 triliun, BP Jamsostek memiliki di pasar ruang gerak investasi BP Jamsostek, “Regulasi perlu disesuaikan dengan perkembangan terkini,” ujar Edwin.
Selain pasar keuangan yang masih terbatas, BP Jamsostek juga berharap bisa mengembangkan dana iuran pekerja lebih maksimal. Usulan BP Jamsostek, “Barangkali bisa dibuka opsi untuk investasi ke luar negeri, off shore investment,” ujarnya. Hanya saja, aturan saat ini belum mencakup investasi tersebut.
Hingga saat ini, dalam pengelolaan dana investasi, BP Jamsostek merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2013 dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2015 mengatur tentang batasan investasi BP Jamsostek, termasuk investasi pada instrumen investasi terkait pasar modal seperti saham dan reksadana.
Merujuk aturan tersebut, investasi berupa deposito btermasuk deposit on call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan satu bulan serta sertifikat deposito yang tidak dapat diperdagangkan (non negotiable certificate deposit) pada bank maksimal 15% dari jumlah Investasi untuk setiap bank
Adapun Investasi surat utang korporasi yang tercatat dan diperjualbelikan secara luas dalam Bursa Efek untuk setiap emiten paling tinggi 5% dari jumlah Investasi dan seluruhnya paling tinggi 50% dari jumlah investasi;
Sementara, saham setiap emiten paling tinggi 5%, dan reksadana untuk setiap manajer investasi paling tinggi 15%.
Investasi berupa efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolektif efek beragun aset untuk setiap manajer investasi paling tinggi 10%dari jumlah Investasi dan seluruhnya paling tinggi 20% dari jumlah Investasi.
Sementara investasi berupa dana investasi real estate, untuk setiap manajer investasi paling tinggi 10% dari jumlah Investasi dan seluruhnya paling tinggi 20% dari jumlah Investasi.
Lalu, penempatan pembelian kembali alias repurchase agreement untuk courterpart maksimal 2%, investasi langsung 1% serta investasi tanah, gedung maksimal 5% dari jumlah investasi.
Adapun saat ini, aset investasi keseluruhan BP Jamsostek mayoritas berada di surat utang mencapai 63%, 19% di deposito, 11% di saham, 6,5% di reksadana, dan 0,5% sisanya investasi langsung.
Imbuh Anggoro, saat ini, BPJS Ketenagakerjaan juga tengah dalam diskusi untuk masuk ke proyek Investment Authority (INA) serta berencana masuk ke kilang Pertamina.
“Kami masih menjajaki ke proyek-proyek infrastruktur. Dengan Pertamina, kami tengah menjajaki peluang investasi di kilang,” ujarnya.
Selain itu, Anggoro juga menyebut BPJS Ketenagakerjaan juga membutuhkan dukungan berupa payung hukum untuk melakukan mekanisme cut loss. “Kami butuh aturan ini karena investasi di saham bisa naik, bisa turun,” ujarnya. Kata dia, investasi saham tak semuanya bisa menghasilkan untung, tapi bisa naik dna bisa turun.
[Rik]