MANAberita.com – KEBIJAKAN Presiden Joko Widodo yang melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng menuai pro dan kontra dari DPR RI.
Anggota Komisi VI DPR Fraksi PPP, Achmad Baidowi mengaku sepakat dengan kebijakan Jokowi.
“Pertimbangan pemerintah kami kira cukup matang dan tidak tergesa-gesa karena risiko inflasi akibat pangan cukup tinggi, dan bisa berdampak pada naiknya jumlah penduduk miskin. Selama pandemi jumlah penduduk miskin telah meningkat menjadi 26,5 juta orang (September 2021),” kata Baidowi dalam keterangan resmi, Sabtu (23/4).
Melansir CNN Indonesia, menurutnya, larangan ekspor itu hanya diberlakukan untuk RBD olein atau bahan baku minyak goreng, sementara produk turunan CPO lain tidak dilarang.
“Selama ini, RBD olein menjadi bahan baku minyak goreng curah, minyak goreng kemasan sederhana, dan kemasan premium. Pengusaha masih bisa leluasa mengekspor produk CPO selain RBD olein,” ujarnua.
Sebaliknya, Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Hanteru Sitorus meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan moratorium atau pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng.
Menurutna kebijakan tersebut bisa merugikan petani kecil dan mendorong lonjakan harga, termasuk produk turunan seperti minyak goreng. Menurutnya keputusan pemerintah melakukan moratorium ekspor CPO dan minyak goreng tepat jika dilakukan dalam jangka waktu pendek.
Hal itu bisa dipahami sebagai langkah untuk memastikan melimpahnya pasokan di dalam negeri dan turunnya harga di tingkat domestik. Namun jika dilakukan dalam jangka panjang, kebijakan itu bisa merusak industri CPO secara keseluruhan, termasuk industri minyak goreng dan merugikan petani petani kecil.
Terutama petani sawit kecil, pemilik lahan sawit sedang dan pemilik kebun sawit yang tidak memiliki pabrik pengolahan CPO, refinery atau pabrik minyak goreng.
“Perlu diingat bahwa sekitar 41 persen pelaku industri sawit adalah rakyat kecil. jadi ini menyangkut jutaan orang dan mereka yang pertama akan menderita akibat kebijakan tersebut,” kata Deddy.
Ia menambahkan jika ekspor dilarang, industri dalam negeri juga tidak akan mampu menyerap seluruh hasil produksi. Lebih lanjut dia menjelaskan buah sawit tidak bisa disimpan dalam waktu lama. Sehingga begitu dipanen harus segera diangkut ke pabrik kelapa sawit. Jika tidak, buahnya akan busuk.
Adanya larangan ini, imbuhnya, akan membuat rakyat menanggung kerugian dan kehilangan pemasukan.
“Pemilik Pabrik kelapa sawit juga tidak bisa menampung CPO olahan dalam waktu lama. Sebab kualitasnya akan menurun dan tempat penyimpanan atau storage pun terbatas dan menambah biaya. Akibatnya, mereka akan menolak buah sawit milik petani dan tentu saja petani akan menjerit,”jelasnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng dalam rapat bersama menterinya.
Larangan yang mulai berlaku pada Kamis (28/4) itu dimaksudkan supaya harga minyak goreng di dalam negeri murah dan pasokan kembali melimpah.
“Dalam rapat saya putuskan melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis 28 April 2022 sampai batas waktu yang ditentukan,” katanya Jumat (22/4).
(sas)