MANAberita.com – SEKRETARIS Jenderal Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) Bivitri Susanti menilai aksi peretas (hacker) Bjorka adalah pengingat pemerintah untuk menuntaskan kasus pembunuhan aktivis Munir Said Thalib.
Bivitri menyebut apa yang telah diungkapkan Bjorka sejalan dengan temuan-temuan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir. Dalam tulisannya, Bjorka membeberkan kronologi dan nama-nama yang terlibat dalam pembunuhan Munir.
Sebagai informasi, Bjorka menyebut sejumlah nama seperti mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwopranjono yang saat ini menjabat Ketua Umum Partai Berkarya, Pollycarpus Budihari Priyanto, Indra Setiawan dan AM Hendropriyono.
“Itu sudah bertahun- tahun tidak ditindaklanjuti oleh negara terutama aparat penegak hukum. Bjorka ingatkan fakta hukum untuk tuntaskan kasus Munir,” kata Bivitri di Kantor KontraS, Jakarta Pusat, Selasa (13/9).
Selain nama-nama yang terlibat, kesamaan lainnya yang diungkap oleh Bjorka adalah terkait komunikasi antar pelaku sebelum dan sesudah membunuh Munir.
Berdasarkan catatan TPF, Muchdi dan Pollycarpus terlacak melakukan komunikasi lewat telepon sebanyak 35 kali.
Bahkan, kata Bivitri, temuan TPF tersebut dikuatkan lagi oleh amar/pertimbangan Majelis Hakim berdasarkan Fakta Persidangan dalam Putusan Perkara Pidana dengan Nomor: 1361/PID.B/2005/PN.JKT.PST atas nama terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto, yaitu adanya komunikasi antara Pollycarpus dan Muchdi sebanyak tidak kurang dari 41 kontak bicara.
Bivitri berucap Muchdi memang pernah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk ditahan dan disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskan Muchi PR (Putusan No. 1448/Pid.B/2008/PN.JKT.SEL).
“Kasum menilai putusan tersebut tidak sama sekali mempertimbangkan fakta hukum yang mengemuka di persidangan Muchdi PR, Indra Setiawan, maupun Pollycarpus Budihari Priyanto,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana menilai peretasan yang dilakukan Bjorka menjadi pengingat bahwa pembunuhan Munir melibatkan institusi negara.
“Aktor pejabat publik saat itu yang terlibat dalam kematian tragis Cak Munir 18 tahun lalu, 7 September 2004 di perjalanan Jakarta-Belanda,” ucapnya.
“Yang harus dicatat, ada Badan Intelijen Negara di balik kematian Cak Munir,” imbuhnya.
Sementara, anggota KASUM Fatia Maulidiyanti menilai langkah Presiden Joko Widodo membentuk tim khusus (timsus) untuk mengejar peretas atau hacker Bjorka kurang tepat.
Fatia berpendapat Jokowi lebih baik membentuk Timsus untuk kasus pembunuhan aktivis Munir Said Thalib. Sebab, 18 tahun pasca Munir dibunuh, belum diketahui dalangnya dan proses pengusutannya lambat.
Sebagai informasi, dalam aksinya, Bjorka tidak hanya meretas melainkan juga menyinggung beberapa isu dan kasus-kasus krusial. Salah satunya, Bjorka mengeluarkan sebuah tulisan “Who Killed Munir”. Bjorka mengungkapkan kronologi dan beberapa orang yang terlibat dalam pembunuhan aktivis tersebut.
“Sebetulnya dengan adanya hal ini Jokowi bukannya semestinya malah membuat tim untuk mengejar Bjorka, tapi Jokowi harusnya membuat tim untuk mencari di mana dokumen TPF dan segera menyelesaikan,” kata Fatia di Kantor KontraS.
Koordinator KontraS itu juga menilai Jokowi harusnya malu, kasus tersebut malah dibuka oleh peretas, bukan pemerintah. Dia menyebut banyak hal yang belum dituntaskan oleh pemerintah.
Fatia menyampaikan pemerintah bisa mendorong Kejaksaan Agung (Kejagung) atau kepolisian untuk melakukan peninjauan kembali (PK) atas kasus Munir.
Selain itu, pemerintah juga bisa mencari dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir yang dinyatakan hilang sampai saat ini. Dengan begitu, kata Fatia, kasus Munir bisa dibuka lagi dan para pembunuhnya dihukum.
Untuk diketahui, Mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwopranjono yang saat ini menjabat Ketua Umum Partai Berkarya pernah ditetapkan sebagai tersangka. Namun, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskannya.
“Agar kasusnya bisa dibuka kembali dan Muchdi bisa kembali diperiksa sebagai salah satu tersangka,” ucapnya.
Kasus pembunuhan Munir berusia 18 tahun. Kasusnya terancam kedaluwarsa karena berdasarkan Pasal 78 ayat (1) butir 3 KUHP, penuntutan pidana hapus setelah 18 tahun untuk kejahatan yang diancam pidana mati atau seumur hidup, seperti pembunuhan berencana.
Sementara itu, jika ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat, kasus Munir tak akan kedaluwarsa. Penyelidikan akan dilakukan sesuai mekanisme UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Saat ini, kasus pembunuhan Munir mulai ditangani oleh Komnas HAM dengan membentuk tim ad hoc penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat.
(sas)