
Photo from www.greattibet.com by Liffity
Manaberita.com -Di tengah bentang alam pegunungan Himalaya yang sunyi dan sakral, terdapat sebuah tradisi pemakaman yang unik dan mengundang perhatian dunia. Dikenal dengan istilah “Sky Burial” atau pemakaman langit, praktik ini menjadi bagian dari kepercayaan mendalam masyarakat Tibet yang menganut agama Buddha.
Dalam tradisi ini, jenazah tidak dikuburkan atau dikremasi seperti lazimnya. Sebaliknya, jasad diletakkan di alam terbuka, biasanya di atas bukit atau dataran tinggi. Di tempat itu, jasad akan dipotong-potong dan dibiarkan dimakan oleh burung nasar, yang dianggap sebagai hewan suci dan perantara roh menuju alam spiritual.
Bagi masyarakat Tibet, memberikan tubuh terakhir kepada burung-burung pemangsa bukanlah sesuatu yang kejam, melainkan sebuah bentuk pemberian terakhir dari orang yang telah meninggal. Ini selaras dengan ajaran Buddha tentang ketidakterikatan pada tubuh dan pentingnya perbuatan baik terakhir.
Upacara ini dihadiri keluarga dan biksu, yang akan membacakan doa-doa serta mantra suci untuk membantu roh mendiang mencapai kelahiran kembali atau kebebasan spiritual.
Secara geografis, Tibet terletak di dataran tinggi Himalaya dan kerap dijuluki “Atap Dunia” karena berada di ketinggian lebih dari 4.000 meter di atas permukaan laut. Secara historis, Tibet pernah menjadi kerajaan independen yang kuat sejak abad ke-7 Masehi, dengan sistem pemerintahan berbasis spiritual dan dipimpin oleh Dalai Lama sebagai pemimpin agama dan negara.
Namun, sejak tahun 1950, Tibet dianeksasi oleh Republik Rakyat Tiongkok dan kini menjadi Daerah Otonomi Tibet di bawah pemerintahan Beijing. Meski demikian, banyak warga Tibet dan diaspora internasional masih menganggap Tibet sebagai bangsa dengan identitas tersendiri yang kuat—baik secara budaya, spiritual, maupun sejarah.
Tradisi pemakaman langit dan perjalanan sejarah Tibet menjadi bukti bahwa wilayah ini bukan hanya memiliki keindahan alam yang luar biasa, tetapi juga kekayaan budaya dan spiritualitas yang mendalam, yang tetap lestari meski di tengah arus modernisasi dan dinamika geopolitik global. (net/aa)