MANAberita.com – JANGAN menilai seseorang dari penampilan, hal itulah yang rasanya pantas diucapkan untuk seorang driver Gojek bernama Endang Irawan. Dibalik penampilannya yang terlihat sangar, tidak ada yang menyangka jika dirinya adalah seorang ustad sekaligus pemilik dari Pondok Pesantren Nurul Iman di Gunung Putri, Bogor.
Sebelum bergabung di Gojek, Endang awalnya bekerja sebagai mekanik elektrik khusus wilayah luar Pulau Jawa dan akhirnya memutuskan untuk berhenti karena tidak bisa fokus mengurus pesantrennya karena butuh waktu 8 bulan untuk pulang.
Pondok pesantrennya itu diketahui sudah 12 tahun lamanya, dan telah berhasil mencetak penghafal Alquran tingkat provinsi. Dirinya merasa besyukur dapat bergabung di Gojek karena dapat mengurus santri-santrinya secara langsung.
Endang juga mengaku lebih bangga menggunakan pakaian Gojek ketika sedang mengajar mengajar “Saya sedang belajar ilmu agar tak dikenal orang. Selain itu, bagaimanapun juga, GO-JEK ini juga lah yang berjasa ikut membesarkan pondok saya,” jelas Endang di Kantor GO-JEK, Pasaraya Blok M, Jakarta Selatan, Rabu (3/1), dikutip dari Kumparan.
Endang dan santri-santrinyaPondok pesantren yang diisi oleh santri yang rata-rat berusia 12 hingga 24 tahun ini juga tidak memungut biaya bila ada anak yatim ataupun kurang mampu ingin belajar padanya, termasuk makan dan kebutuhan sesehari lainnya.
“Fakir itu dia ada penghasilan tapi tidak memenuhi. Itu saya lihat kondisi, kadang saya tidak ambil biaya. Begitu pula yang miskin, atau penghasilannya tidak menentu,” jelasnya.
Selain itu, Endang kerap memberi uang jajan kepada para santri sebesar 5 ribu, karena santrinya tidak diperbolehkan keluar dari pesantren tanpa izin.
Endang Irawan“Makanya kalau saya datang, tukang jajanan pasti habis. Tukang bakso, di sana satu mangkok masih Rp 2 ribu, masuk gerobak pulangnya kosong. Bakwan juga, pokoknya kalau saya datang tukang-tukang dagang pasti udah bolak-balik,” tambahnya.
Diakhir cerita, ia menyebutkan jika penghasilan yang ia dapatkan dari menjadi driver GO-JEK selalu ia bagi menjadi empat. Sebagian untuk menghidupi santri-santrinya, untuk keluarga, membayar kontrakan dan satu lagi untuk diri sendiri.
“Selalu saya bagi. Kan saya juga punya keluarga, punya anak yang saya sekolahkan di pondok pesantren di luar kota, dan rumah saya masih ngontrak. Belum untuk saya, untuk beli bensin, service motor dan lainnya,” tutup Endang. (Dil)