MANAberita.com — SEORANG bocah bernama Ivan (7) harus meregang nyawa usai dianiaya oleh kedua orang tuanya.
Tak hanya kerap dianiaya, Ivan pun kerap dibully dan tidak memiliki teman di sekolahnya. Sebelum bocah menggemaskan ini meregang nyawa, Ivan sempat menuliskan curhatannya pada sebuah surat.
Beginilah isi surat Ivan yang dilansir dari Grid.id melalui newsner.
“Namaku Ivan dan umurku 7 tahun.
Aku sangat mencintai kedua orang tuaku namun di satu sisi aku juga sangat takut kepada mereka.
Di sekolah, aku tak punya teman, mereka semua menjauhiku bahkan sering menertawakanku.
Kata mereka, aku selalu memakai pakaian yang sama dan sepatu yang sudah robek setiap hari.
Suatu hari, setelah pulang sekolah, aku berjalan sendiri menuju rumah di tengah badai salju.
Tiba-tiba seseorang mendorongku hingga terjatuh dan berkata, “Tak ada yang menyukaimu, idiot!”
Mereka menendang belakang dan perutku kemudian lari meninggalkanku di tengah dinginnya udara.
Aku menangis. Bukan karena kedinginan atau terluka, namun karena tak ada yang mau berteman denganku. Sesampai di rumah, ibuku datang dan menarik rambutku.
“Dari mana kamu? Kenapa begitu kotor? Anak jahanam! Tak ada makan malam untukmu. Sana pergi ke kamar dan tetap di situ!”
Aku pun tetap berada di kamar sampai keesokan harinya meski rasa lapar tak tertahankan.
Nilai yang jelek membuat ayah sangat marah terhadapku. Dia memukulku sampai jari telunjukku tak bisa digerakkan.
Ivan dan luka yang dideritanyaSemakin ke sini, rasa sakit di dada sering aku alami. Orang tuaku bahkan tak perduli sakit yang aku alami, tapi aku tetap mencintai mereka.
Saat di sekolah, ibu guru menyuruh kami menggambar mimpi terbesar kami. Teman-temanku menggambar mobil, boneka dan sebagainya.
Aku tidak.
Bukan karena aku tak menyukai barang-barang itu, namun karena apa yang aku harapkan dari semuanya adalah orang tua.
Jadi aku gambar orang tua dan diriku. Dalam diam, aku menangis. Aku benar-benar mencintai mereka.
Ketika disuruh menunjukkan ke teman-teman, mereka menertawakanku. Aku menangis. “Aku juga ingin dipeluk, ingin tertawa bersama mereka, ingin diantar dan dijemput dari sekolah. Aku tahu aku jelek dan lemah tapi ku mohon jangan menertawakanku.”
Beberapa hari setelahnya, aku kembali mendapat nilai jelek. Jujur aku takut pulang rumah. Aku takut ibuku marah padaku.
Saat ibu tahu, ia memukul kepalaku dua kali sampai terjatuh di lantai. Aku tak bisa bangun saat itu. Sangat sakit rasanya.
Tapi ibu seakan tak peduli. Ia tetap meninggalkanku disana. Aku memohon kepadanya agar tak memberitahukan nilaiku kepada ayah.
Dan ketika ayah tahu, ia menarikku dari lantai dan memukul wajahku. Aku tak sadarkan diri lalu terbangun dan ternyata aku sudah berada di rumah sakit.
Dari kaca jendela, aku melihat orang tua lain sedang bemain dengan anak-anak mereka.
Kamu tahu kenapa aku menangis?
Aku tak tahu rasanya dipeluk oleh ibu. Orang tuaku hanya memukuliku, tapi bagaimanapun aku tetap mencintai mereka.
Aku sudah melakukan yang terbaik di sekolah tapi mereka tetap tidak menyukaiku.
Satu hari, aku menumpahkan teh dan mereka memukuliku lagi.
Tiba-tiba aku merasakan sakit dada yang begitu menyiksa. Aku memberitahukan ibu namun ia tak perduli.
Aku pun harus dibawa ke rumah sakit tapi tetap saja tak ada yang datang menjengukku.
2 hari kemudian, Ivan menghembuskan napas terakhirnya. Di tangannya, dokter temukan sepucuk surat yang tidak ditulis secara jelas.
“Untuk ayah dan ibu, aku tahu aku jelek, menjijikan dan bodoh. Aku minta maaf karena kalian tak bisa mencintaiku.
Satu hal yang aku inginkan, pelukan dan pelukan dari seorang ibu dan mendengar bahwa kamu mencintaku juga.
Ayah, aku ingin kamu bermain denganku, pegang tanganku dan berjalan bersama atau bernyanyi untukku. Aku tahu aku memalukan untuk kalian.”
Surat dari Ivan sangat menampar banyak pihak. Hal ini juga sebagai peringatan jika anak-anak membutuhkan kasih sayang, kelembutan, perhatian bukan justru kata-kata kasar dan pukulan. (Dil)