MANAberita.com – PERNIKAHAN beda agama Staf Khusus Presiden Joko Widodo (Jokowi), Ayu Kartika Dewi dengan kekasihnya Gerald Sebastian berlangsung pada Jumat (18/3). Pernikahan yang dilangsungkan dengan dua prosesi yaitu akad nikah secara Islam dilanjutkan dengan misa pemberkatan di Katedral Jakarta.
Tak hanya Ayu, beberapa waktu lalu prosesi pernikahan dua mempelai berbeda agama dilakukan di sebuah gereja di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Melansir CNN Indonesia, kesamaan kedua pasangan tersebut adalah mempelai pria beragama Katolik, sedangkan mempelai perempuan beragama Islam. Mempelai perempuan bahkan mengenakan hijab saat menjalani prosesi pernikahan tersebut.
Pernikahan beda agama itu telah diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Secara umum, UU Perkawinan menitikberatkan pada aturan agama masing-masing. Meski demikian, terdapat beberapa cara untuk mendapat pengakuan oleh negara atau tercatat secara resmi walaupun menikah beda agama.
UU Perkawinan
Peraturan soal pernikahan di Indonesia dalam Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berbunyi “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”
UU Perkawinan itu menitikberatkan pada hukum agama dalam melaksanakan perkawinan, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama.
Selain itu, dalam Pasal 8 huruf (f) berbunyi “Perkawinan dilarang: mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”
Artinya, bila hukum agama tak memperbolehkan perkawinan beda agama, maka tidak boleh pula menurut hukum negara. Boleh atau tidaknya perkawinan beda agama tergantung pada ketentuan agamanya.
Kompilasi Hukum Islam telah mengatur perkawinan antarpemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pasal 40 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Mahkamah Konstitusi (MK) juga sempat menolak permohonan pengujian Undang-Undang tentang Perkawinan pada 2015.
Gugatan itu dilayangkan lantaran para penggugat menilai perkawinan beda agama tidak sah oleh negara dalam aturan tersebut. Penggugat menganggap larangan pernikahan beda agama telah melanggar hak konstitusional warga negara.
Cara Menikah Beda Agama
Meski demikian, dalam artikel Nur Asiah (2015) berjudul “Kajian Hukum terhadap Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam”, terdapat dua cara menikah beda agama di Indonesia.
Cara pertama adalah salah satu pihak mempelai melakukan “perpindahan agama secara sementara”. Lalu, mempelai itu mengikuti upacara perkawinan yang sah berdasarkan salah satu agama. Setelah menikah, masing-masing pihak kembali memeluk agamanya masing-masing.
Namun, upaya ini dianggap sebagai penyelundupan hukum untuk menyiasati secara hukum ketentuan dalam UU Perkawinan. Cara ini pun sangat tidak disarankan.
Cara kedua, bisa ditempuh berkat Putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986, Kantor Catatan Sipil memperbolehkan untuk melangsungkan pernikahan beda agama.
Di Indonesia terdapat dua lembaga yang bertugas mencatat pernikahan, yakni Kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama (KUA). Putusan itu dikeluarkan MA dari perkawinan yang hendak dicatatkan oleh pemohon perempuan beragama Islam dengan pasangannya beragama Kristen Protestan.
Dalam putusannya itu, MA membolehkan keduanya menikah beda agama, karena pasangan dianggap tidak menghiraukan peraturan agama, sehingga tidak ada halangan untuk menikah secara sah.
Artinya, pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya (Islam) sehingga Kantor Catatan Sipil dapat melangsungkan dan mencatatkan perkawinan tersebut sebagai dampak pernikahan beda agama yang dilangsungkan.
[sas]