MANAberita.com – KOMANDAN Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI Marsekal Muda Agung Handoko menyayangkan sikap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak berkoordinasi dengan penyidik ??Puspom dalam operasi identifikasi tersebut. sebagai tersangka kasus korupsi. di Basarnas.
Agung mengatakan, sebagai rekan penegak hukum, banyak hal yang perlu dikoordinasikan.
“Dari OTT sampai penetapan tersangka itu tidak ada koordinasi. Itu yang kita sesalkan sebetulnya. Sama-sama aparat penegak hukum, sebetulnya bisa dikoordinasikan dengan baik,” kata Agung, Kamis (27/7) malam.
Menurutnya, penyidik ??KPK bisa memberikan informasi jika ingin menangkap perwira TNI aktif. Agung mengatakan penyidik ??Puspom TNI dan KPK bisa berbagi peran tergantung kewenangan masing-masing.
“Kalau misalkan takut bocor, ya sudah kasih tahu aja, ‘Pak kita mau nangkap orang, ayo ikut’. Itu bisa toh. Nanti begitu di titiknya, ‘itu Pak orangnya silahkan Bapak dari POM menangkap, saya awasi’. Kan bisa seperti itu,” ucapnya.
Agung mengatakan penyidik Puspom TNI hanya dilibatkan saat gelar perkara kasus. Namun, menurut dia, poin dari gelar perkara itu soal peningkatan status dari penyelidikan ke penyidikan.
Mengutip CNN Indonesia, Puspom berpendapat, peningkatan status hanya menyangkut pihak sipil yang diduga terlibat. Dia mengatakan, saat itu belum ada penjelasan soal dua anggota TNI aktif yang akan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
“Pikiran kita kan karena ini kaitan urusan KPK, peningkatan itu untuk yang sipil. Jadi kalau dikatakan, sudah koordinasi, kita dilibatkan, ya memang benar tapi hanya untuk tadi, peningkatan status dari penyelidikan ke penyidikan,” kata Agung.
“Karena kewenangan menetapkan tersangka itu ada di kita di militer, di penyidik militer, dalam hal ini salah satunya polisi militer,” imbuhnya.
Agung mengatakan dalam gelar perkara itu alat bukti yang ada memang sudah cukup memenuhi untuk peningkatan status bagi anggota TNI.
Namun, ia menyesalkan langkah KPK menetapkan anggota TNI aktif sebagai tersangka. Ia menegaskan penetapan tersangka perwira militer hanya boleh dilakukan oleh penyidik di Puspom TNI.
“Alat buktinya sudah cukup. Cuma yang kita sesalkan kenapa dia yang… misalkan gini ‘yang sipil kita tetapkan sebagai tersangka. Untuk yang militer kita serahkan ke TNI’. Itu kan selesai di situ. Baru nanti mereka secara resmi lapor, buat laporan polisi ke kita, baru kita tetapkan yang bersangkutan militer sebagai tersangka,” ucapnya.
Ia mengatakan Puspom TNI saat ini menunggu laporan resmi dari KPK untuk memulai penyidikan terhadap dua prajurit TNI itu. Agung menjelaskan Puspom tak bisa bergerak tanpa ada laporan polisi.
“Jadi kita Puspom TNI belum bisa memulai proses penyidikan karena belum ada laporan polisi. Belum bisa menetapkan dua orang ini menjadi tersangka,” kata Agung.
Ia menjelaskan sejauh ini pihaknya baru menerima surat pelimpahan dua anggota itu. Namun, kata dia, hal itu tidak bisa dijadikan dasar penyidikan. Ia memastikan Puspom akan menindaklanjuti proses hukum dua anggota itu jika telah menerima laporan resmi.
Adapun KPK menetapkan lima tersangka terkait kasus dugaan kasus suap pada pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan Tahun Anggaran 2023 di Basarnas RI.
Mereka ialah Kabasarnas RI periode 2021-2023 Henri Alfiandi; Anggota TNI AU sekaligus Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto; Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati (MGCS) Mulsunadi Gunawan; Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati (IGK) Marilya; dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama (KAU) Roni Aidil.
Henri bersama dan melalui Afri Budi diduga menerima suap dari beberapa proyek di Basarnas tahun 2021 hingga 2023 sejumlah sekitar Rp88,3 miliar dari berbagai vendor pemenang proyek.
KPK menyerahkan proses hukum Henri dan Afri Budi selaku prajurit TNI kepada Puspom Mabes TNI. Hal itu sesuai ketentuan Pasal 42 UU KPK jo Pasal 89 KUHAP.
(sas)