Manaberita.com –
Oleh: Sigit Bramantio
Pelaku Usaha
Latar Belakang yang Tak Pernah Usai
Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China bukanlah hal baru. Sejak era Donald Trump pada 2018, kedua negara saling berlomba memproteksi pasar domestik dengan tarif dan pembatasan. Namun, di bawah pemerintahan Joe Biden, konflik ini tidak mereda, malah semakin kompleks dengan tambahan dimensi teknologi dan keamanan nasional.
Yang menarik, perang dagang ini seringkali dikemas sebagai upaya “melindungi kepentingan nasional”, tetapi di balik retorika politik, siapa sebenarnya yang diuntungkan – dan siapa yang menjadi korban?
Dampak Langsung: AS dan China Sama-Sama Terluka
- AS: Industri Mahal, Konsumen Terbebani
- Kebijakan tarif impor produk China (seperti elektronik dan baja) memang melindungi produsen AS, tetapi di saat yang sama meningkatkan biaya produksi bagi industri yang bergantung pada bahan baku China.
- Contoh: Harga laptop dan smartphone di AS naik 5-10% sejak 2024 (data USTR).
- Petani AS juga merugi karena China membalas dengan mengurangi impor kedelai dan gandum.
2. China: Ekspor Terhambat, Pengangguran Meningkat
- Industri manufaktur China, yang selama ini mengandalkan pasar AS, terpaksa mencari pasar baru di Asia dan Afrika – yang belum sebesar konsumsi Amerika.
- PHK massal terjadi di sektor manufaktur, terutama di Guangdong dan Zhejiang.
Dampak Global: Negara Ketiga Jadi Korban atau Pemenang?
- Negara yang Diuntungkan
- Vietnam, India, Meksiko: Menjadi alternatif basis produksi bagi perusahaan yang ingin menghindari tarif AS-China.
- Uni Eropa: Ekspor mobil Jerman dan mesin Prancis ke China meningkat karena produk AS kena tarif tinggi.
2. Negara yang Dirugikan
- Jerman dan Korea Selatan: Terkena imbas perang teknologi, terutama di industri chip.
- Negara Berkembang: Harga barang impor naik, memperburuk inflasi dan utang luar negeri.
Pertanyaan Kritis: Apakah Perang Dagang Efektif?
AS berargumen bahwa kebijakan ini diperlukan untuk “mengurangi ketergantungan pada China”, tetapi kenyataannya:
- Supply chain global terlalu terintegrasi untuk diputus dalam waktu singkat.
- Perusahaan AS tetap bergantung pada rare earth dan komponen murah dari China.
Di sisi lain, China juga tidak sepenuhnya menang. Meski bisa beralih ke pasar lain, reputasinya sebagai mitra dagang stabil terus terkikis.
Solusi atau Jalan Buntu?
- Perundingan Multilateral – WTO harus lebih tegas mencegah praktik proteksionisme ekstrem.
- Diversifikasi Pasar – Baik AS maupun China perlu mengurangi ketergantungan satu sama lain tanpa merusak ekonomi global.
- Inovasi, Bukan Tarif – AS perlu berinvestasi lebih besar di R&D agar bisa bersaing alih-alih sekadar memblokir produk China.
Kesimpulan
Perang dagang AS-China bukan sekadar persaingan ekonomi, melainkan perebutan pengaruh geopolitik. Namun, dalam jangka panjang, tidak ada pemenang mutlak – yang ada hanyalah ekonomi global yang semakin terfragmentasi dan tidak stabil. Jika kedua negara terus bersikeras, bukan hanya mereka yang rugi, tetapi seluruh dunia akan menanggung konsekuensinya.
Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili institusi mana pun.
Referensi:
- IMF World Economic Outlook (2025)
- U.S. Trade Representative Report (2024)
- Bloomberg Economic Analysis