“RAWAGAMBUT” TEATER POTLOT, KECEMASAN AKAN BUMI

  • Selasa, 07 Maret 2017 - 11:52 WIB
  • Ragam
Road Show Theater Potlot, Rawa Gambut

MANAberita.com – PERSOALAN LINGKUNGAN HIDUP di Indonesia, khususnya di pulau Sumatera, saat ini menjadi sorotan pemerintah Indonesia maupun international. Salah satunya persoalan kebakaran di lahan rawa gambut (wetland). Sebab hampir setiap tahun kawasan tersebut terbakar, yang menimbulkan berbagai dampak. Mulai pelepasan karbon yang menyebabkan perubahan iklim global, gangguan kesehatan, gangguan aktifitas perekonomian, terancamnya kekayaan hayati dan satwa, serta terancamnya atau rusaknya artefak budaya seperti situs pemukiman masyarakat Kerajaan Sriwijaya di sepanjang Pantai Timur Sumatera Selatan. Kebakaran di lahan rawa gambut bukan semata karena alam—seperti kemarau panjang—tapi karena perilaku manusia yang tidak arif dalam memanfaatkan dan mengelola lahan gambut.

Perilaku manusia seperti ini menjadi perhatian kami dari Teater Potlot. Sebab menurut kami selain mengancam kerusakan bumi, yang salah satunya berdampak pada keberadaan manusia, perilaku tersebut juga menghancurkan jejak peradaban Kerajaan Sriwijaya yang merupakan peletak peradaban Asia Tenggara (Nusantara). Bahkan, jika dibaca dari Prasasti Talang Tuwo, Kerajaan Sriwijaya sangat arif dalam memperlakukan alam atau bumi.

Atas dasar itulah, kami dari Teater Potlot mengambil peran untuk mengingatkan hal tersebut melalui pertunjukan Rawa Gambut yang akan dipentaskan keliling Sumatera (Palembang, Jambi, Pekanbaru, Padang dan Bandarlampung). Pementasan ini dimulai di Palembang pada 23 dan 25 Maret 2017, di Taman Budaya Sriwijaya, Jakabaring, Palembang. Penulis naskah dan sutradara pertunjukan ini Conie Sema.

Pertunjukan ini selain memperingati Hari Bumi berdasarkan Prasasti Talang Tuwo, juga sebagai merayakan Hari Teater International.

Selain pertunjukan juga dilakukan diskusi dengan tema “Lansekap Budaya sebagai Model Integrasi Ekologi dan Ekonomi: Beranjak dari Spirit Prasasti Talang Tuwo” dengan narasumber

Dr. Najib Asmani (Staff Khusus Gubernur Sumsel bidang Perubahan Iklim), Dr. Damayanti Buchori (Guru Besar IPB/ZSL), Dr. Ridzki R Sigit (Direktur Mongabay Indonesia), Dr. Syafrul Yunardy (Ketua Forum DAS Sumsel) dengan moderator Dr. Yenrizal Tarmizi (UIN Raden Fatah).

Tujuan pertunjukan ini, selain mengkampanyekan kepedulian terhadap lingkungan khususnya gambut melalui gerakan kebudayaan, yakni pementasan teater, juga lahirnya pemahaman di kalangan pekerja seni soal (seniman) tentang kelestarian lingkungan, serta ikut mengkampanyekan isu-isu lingkungan melalui karya seni mereka., termasuk mendorong lahirnya gagasan terkait usaha memperbaiki lingkungan hidup hari ini dan ke depan.

SINOPSIS RAWA GAMBUT

Lahan gambut, rawa lebak adalah aku. Juga dirimu!” Demikian salah satu  kutipan dialog para gambut.

Naskah drama ini mengisahkan tentang pergulatan kehidupan manusia yang berada di kawasan gambut, di pesisir Pantai Timur Sumatera, Sumatera Selatan (Kabupaten Ogan Komering Ilir, Banyuasin dan Musi Banyuasin).  Gambut menjadi tokoh-tokoh metafora yang menjelaskan siapa dirinya. Gambut pun bercerita tentang masa lalu dan sejarah. Ia seakan berkabar dan mengirim pesan kepada semua orang, bagaimana berperilaku dan memperlakukan alam dan aneka hayati yang hidup di lahan basah yang subur dan makmur itu.

Ia juga mengingatkan manusia yang mengelola dan memanfaatkan dirinya sebagai lahan berkebun dan berladang.  “Aku adalah sorga bagi dirimu. Aku adalah sungai dan kolam. Pohon-pohon dan kicau burung. Rumah bagi satwa dan beribu aneka hayati. Aku jutaan mata air dan ikan-ikan. Aku memberimu oksigen dan sumber mineral. Menjaga anak cucumu dari petaka dan kesengsaraan. Selalu berdoa hidupmu lebih lama dariku,” demikian para gambut menjelaskan siapa dirinya.

Kerusakan dan kebakaran hebat lahan gambut di penjuru bumi ini, akibat kesalahan pengelolaan dan pemanfaatan oleh manusia. Gambut berkata, “Di sini, semua orang menjadi kebun. Mereka menata dan memilih bibit akan ditanam. Lalu memagarinya dengan akal dan pikiran. Tanah menerima benih-benih itu, dan menjaganya. Merawatnya dengan kasih sayang. Hingga menghasilkan buah. Itulah hakikat berkebun. Semua bekerja. Semua mendapatkan hasil. Itulah hakikat keadilan bagi semua.”

Gambut adalah cermin peradaban. Adalah pesan-pesan cinta yang tertulis dalam prasasti leluhur. Pesan menjaga bumi dan kehidupan. Pesan agar kita selamat dari bencana. Tetapi kenyataan hari ini, gambut tidak lagi menjadi sorga bagi semua. Gambut ditimbun, dibakar, dan dihancurkan. Semua menjadi sepi dan asing. Burung-burung terbang tanpa fajar dan sungai. Ikan-ikan meninggalkan rawa tanpa kemarau. Dan keterasingan itu sendiri adalah jutaan kebun yang pelan-pelan datang tanpa suara dan kegaduhan.

Itulah kenyataan yang diceritakan dalam drama ini. Sebuah kerja paradoks manusia dan ilmu pengetahuan mengelola alam jagat raya ini. Menggugah hati nurani dan cinta manusia tentang makna menghargai dan menjaga kelestarian alam. Mengingatkan arti dan hakikat keadilan dari jargon-jargon konservasi dan restorasi lingkungan. “Kau tak usah sibuk mengurus kami. Kami bisa mengurus diri kami sendiri. Kau urus saja dirimu,” demikian tegur para gambut.

 

BIODATA TEATER POTLOT

TEATER POTLOT berdiri tahun 1984 di Palembang, Indonesia. Teater ini bermula dari komunitas kecil di sebuah kampung. Pada perkembangannya Teater Potlot lebih cenderung bereksplorasi dengan gagasan yang berorientasi kepada konsep-konsep “teater pembebasan”. Potlot menginginkan teater terbebas dari ruang teks yang menyandera kebebasan kreatif. Tetapi tetap bisa berkomunikasi dan terpahami oleh penonton, terutama pesan-pesan moral yang hendak disampaikan.

Beberapa produksi awal pementasan Teater Potlot:  Lysistrata karya Aristophanes, Oedipus di Kolonus karya Sophocles, Jakatarub karya Akhdiat, Wong-Wong karya Anwar Putra Bayu, dan lain-lain. Dekade tahun 1995-2000-an, produksi pementasan Teater Potlot cenderung berubah ke bentuk-bentuk kontemporer dan eksploratif. Berlatar belakang dari hasil riset dan observasi pada peristiwa nyata yang paradoks di tengah kehidupan masyarakat. Mereka mulai mementaskan karya yang ditulis sendiri. Misalnya: Bonseras (Boneka Setengah Waras) karya Conie Sema, Sebungkus Deterjen Hari Ini karya Conie Sema, Muria Sandal Theklek di Dada karya T. Wijaya, 50 Tahun Ikan Asin dalam Kaos Kaki karya T. Wijaya.  Orang-Orang Barunta (roadshow) karya Conie Sema, Hutan Geribik (Roadshow 50 Desa Konflik) karya Conie SEma, dan terakhir, tanggal 4 Desember 2016, menampilkan Majhi karya dan sutradara Conie Sema. Saat ini Teater Potlot sedang menyiapkan pentas keliling dengan pembawa isu lingkungan dan kebudayaan. Rawa Gambut karya Conie Sema, akan menceritakan banyak persoalan di lahan gambut yang sering terbakar saat musim kemarau itu. Antara lain kasus-kasus perkebunan koorporasi perkebunan dengan masyarakat dan perlakuan yang adil terhadap alam serta beragam hayati yang  hidup di lahan gambut.  Keadilan baik secara konservasi juga ekonomi.   Pertunjukan Rawa Gambut ini, hasil dari riset teater di lokasi gambut Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Provinsi Sumatera Selatan.

Dalam produksinya, Teater Potlot mengandeng kerjasama banyak pihak di Indonesia. Selain juga donor dari luar. Tahun 1999 dan dan tahun 2000, Potlot bekerjasama dengan USAID melakukan pentas keliling 7 kabupaten di Lampung, membawakan naskah Orang-Orang Barunta karya Conie Sema, dan Sutradara Iswadi Pratama dari Teater Satu.  Kemudian Hutan Geribik  karya dan sutradara Conie Sema, mengusung isu kampanye “Rekonsiliasi antar etnis di Lampung ”. Kampanye damai dan anti kekerasan ini keliling di 50 desa konflik di Lampung.

 

Biodata Penggiat Teater Potlot

CONIE SEMA, adalah satu dari pendiri Teater Potlot yang masih terus aktif berkarya di teater.  Ia mengawali menulis lakon dari naskah sandiwara di TVRI Palembang. Selain menulis naskah teater, juga menyutradarai pertunjukan.  Ketika  awal kerja di koran harian Sumatera Ekspress,  ia sering menulis esai-esai serta tulisan kolom. Selain sebagai jurnalis cetak ia juga sempat menjadi koresponden RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), untuk liputan wilayah Provinsi Lampung.  Conie Sema juga menulis esai dan novel. Tahun 2009, ia meluncurkan novelnya Perahu, bercerita tentang kehidupan masyarakat pesisir Teluk Lampung. Tahun 2016 sedang menyelesaikan novel keduanya Lebak, berlatar kehidupan di kawasan gambut, Pantai Pesisir Timur, Sumatera Selatan.

WIJAYA, penyair dan novelis yang juga aktif menggiatkan spirit lingkungan dan kebudayaan. Ia juga jurnalis di beberapa media daerah dan nasional. Saat ini bekerja di media lingkungan Mongabay Indonesia. Di Teater Potlot, T. Wijaya menulis naskah panggung. Tiga karya panggungnya yang diproduksi, Muria Sandal Theklek di Dada, 50 Tahun Ikan Asin dalam Kaos Kaki, Lydia dan Godot Belanja Gula-gula.

Buku-buku puisinya yang sudah diterbitkan, Krisis di Kamar Mandi, Dari Pesan Nyonya, Aku Dimarahi Istri (Digital),  Karya Novel yang sudah dicetak, Juaro, Buntung, Cagak. Tahun 2017 ini, ia akan mencetak novel terbarunya, Tanah.

FERDIANSYAH SEMAI, Aktif pada kegiatan desain grafis. Dengan basis pendidikan seni rupa, Ferdi terlibat dalam setiap pertunjukan Teater Potlot, terutama penyiapan poster dan artistik panggung serta make up pemain.  Sebelumnya ia sempat bergabung dengan beberapa media cetak minggu dan harian. Salah satunya Harian Lampung Post.

 HERI YUDISTIAN,  Sehari-hari akrab dengan dunia visual (foto dan video). Ia sempat bekerja sebagai kameramen RCTI liputan Lampung ini, sempat menjadi kontributor Lativi dan TV One. Di Teater Potlot ia bertigas sebagai dokumenter visual untuk fotog , thriel, video kampanye, video komersial, dan film dokumenter.

DIAN ANGGRAINI, adalah koreografer jebolan STSI Yogyakarta. Saat ini tengah menyiapkan pasca sarjananya di ISBI Bandung.

(Aan)

 

Komentar

Terbaru