MANAberita.com – PENGAMAT militer Imparsial, Hussein Ahmad mengingatkan pemerintah agar transparan dalam hal pembelian Jet Tempur Rafale dari Prancis.
Ia juga meminta agar pembelian pesawat itu dilakukan langsung kepada produsen, tidak melalui pihak ketiga atau broker.
Dilansir CNN Indonesia, Hussein mengungkapkan selama ini pembelian alat utama sistem senjata TNI (Alutsista) selalu dibayang-bayangi dugaan markup atau korupsi. Ia mengingatkan agar pembelian jet tempur ini semata untuk kepentingan TNI.
“Langsung kepada produsen atau pemerintahan Prancis dan tidak melalui pihak ketiga. Tidak boleh lagi ada pihak ketiga (broker) yang bermain mengambil keuntungan,” kata Hussein, Jumat (11/2).
Menurut Hussein belanja Alutsista dengan anggaran jumbo ini harus diawasi Komisi I DPR RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia mengingatkan agar TNI tidak mendapatkan pesawat tempur di bawah spesifikasi akibat korupsi.
“Jangan sampai TNI mendapatkan barang di bawah spesifikasi akibat markup dan korupsi yang dilakukan oknum tidak bertanggung jawab,” tuturnya.
Hussein mengapresiasi keputusan pemerintah membeli Rafale di tengah kebutuhan modernisasi Alutsista yang mendesak. Meski demikian, menurutnya, pemerintah mesti menjelaskan kepada publik bahwa pesawat yang dibeli cocok untuk memperkuat TNI.
Pemerintah juga harus menjelaskan kepada publik kelebihan tipe pesawat yang dibeli daripada tipe lainnya.
“Pembelian Rafale ini tidak boleh di bawah spesifikasi dan harus berteknologi mutakhir yakni Rafale generasi terkahir (F4),” ujar Hussein.
Sementara itu, Pengamat Militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengungkapkan selama ini pembelian Alutsista memang dilakukan melalui skema utang.
Secara faktual, kata Fahmi, saat ini pemerintah baru membeli 6 unit Rafale dari Prancis. Pembelian 42 pesawat itu akan dilakukan secara bertahap.
Menurutnya, jumlah total pembelian itu penting disebutkan dalam Memorandum of Understanding (MoU) guna memudahkan skema offset.
Selain itu, adalah pembangunan MRO, skema transfer teknologi, Riset dan pengembangan Alutsista bersama, hingga paket2 pelatihan, peningkatan kapasitas SDM maupun kerja sama investasi lain.
“42 unit itu adalah total rencana pembelian jangka panjang yang akan direalisasi bertahap sesuai kemampuan anggaran,” tutur Fahmi.
Menurutnya, urgensi pengadaan pesawat tempur tersebut adalah perang. Kata Fahmi, perang harus selalu dianggap mungkin terjadi.
Pembangunan kekuatan kemampuan pertahanan, ujar Fahmi, merupakan cara untuk memperkecil ancaman perang.
“Apa ukuran kemendesakan atau urgensi? Perang, bagaimanapun harus selalu diposisikan mungkin hadir dan terjadi,” kata Fahmi.
[SAS]