MANAberita.com – PEMERINTAH yang mengusulkan agar aborsi digolongkan sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual. Komnas Perempuan meminta agar usulan tersebut ditolak dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
“Komnas Perempuan meminta ‘aborsi’ dihapus dari daftar bentuk kekerasan seksual dan diganti dengan ‘pemaksaan aborsi’,” demikian kata Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Siti Aminah Tardi, Kamis (31/3/2022).
Mengutip detikcom, usulan pemerintah masuk kedalam Daftar Inventarisasi Masalah Rancangan (DIM) RUU TPKS, tertanggal 10 Februari 2022. Istilah ‘aborsi’ tersebut problematis lantaran aborsi selama ini bukanlah tindak pidana kejahatan seksual. Bahkan, dalam ranah medis, ‘keguguran’ juga termasuk ‘aborsi’, yakni ‘aborsi spontan’. Terkhusus untuk korban perkosaan, aborsi boleh dilakukan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
“Dalam DIM Pemerintah, diusulkan ‘aborsi’ sebagai tindak pidana, bukan ‘pemaksaan aborsi’. Hal ini dikhawatirkan justru akan menyasar perempuan korban kekerasan yang mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki,” tutur Siti.
Bahkan, ketika tidak digolongkan sebagai tindak pidana seperti saat ini, aborsi tetap sulit dilakukan oleh korban pemerkosaan. Komnas Perempuan mencatat korban pemerkosaan sulit mengakses aborsi dalam hal izin, fasilitas aborsi yang ditunjuk otoritas, dan kesulitan dalam hal waktu yang terbatas. Ada pula risiko bahwa korban pemerkosaan tersebut dijadikan tersangka tindak pidana aborsi.
Seharusnya, pihak yang dikriminalisasi dalam kasus aborsi adalah pihak yang memaksakan aborsi, bukan perempuan korban kekerasan seksual. Namun, dalam KUHP saat ini, pihak yang dapat dipidanakan adalah perempuan yang melakukan aborsi, dokter, bidan, atau dukun yang membantu aborsi, dan orang-orang yang mendukung terlaksananya aborsi.
“Belum ada ketentuan pemidanaan terhadap orang yang memaksa orang lain untuk melakukan aborsi dengan cara kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan,” tutur Siti.
Sebelumnya, sorotan atas masuknya aborsi sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual disampaikan oleh Koalisi Save All Woman and Girls (SAWG). Secara terpisah, detikcom juga mendapatkan dokumen DIM RUU TPKS dari Kementerian Hukum dan HAM tertanggal 10 Februari 2022.
Penggolongan aborsi sebagai salah satu kekerasan seksual ada pada poin nomor 65, Bab II tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, ayat (2). Aborsi tertulis pada urutan huruf f. Berikut adalah usulan dalam DIM RUU TPKS yang disorot di sini:
Ayat (2)
Selain Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga meliputi:
a. perkosaan;
b. perbuatan cabul;
c. persetubuhan, perbuatan cabul, dan eksploitasi seksual terhadap Anak;
d. perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban;
e. pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual;
f. aborsi;
g. pemaksaan pelacuran;
h. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan
k. tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2) di atas sedikit mengulas ayat (1), yakni mengenai tujuh jenis tindak pidana kekerasan seksual meliputi pelecehan seksual nonfisik, fisik, pemaksaan kontrasepsi, sterilisasi, perkawinan, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual.
(sas)