Sejarah, Lombok Pada Abad ke-18 : Metropolitan Kuno Bernama Cakranegara

  • Minggu, 17 April 2022 - 08:57 WIB
  • Nasional

Manaberita.com – JAUH di pedalaman abad ke-18, Cakranegara, Lombok sudah memberikan contoh bagaimana seharusnya sebuah kota dibangun. Kota yang dirancang dengan masterplan modern yang melampaui zamannya. Sisa-sisanya pun saat ini masih bisa kita lihat, kini Kota Cakra tersusun dalam blok-blok persegi (grid pattern) dengan jalan dan gang-gang lebar presisi yang terhubung satu sama lain. Apa kabarnya kini?

Dilansir dari LombokPost, Spiro Kostof dalam The City Shaped (1991), membagi pertumbuhan kota menjadi dua bentuk. Yang pertama yakni kota yang pada awalnya dirancang secara sadar menurut kepentingan dan filosopi tertentu. Yang mana disini penguasa yang membangun kota menyiapkan masterplan jauh sebelum rumah-rumah dan permukiman dibangun. Yang kedua yakni kota yang tumbuh secara alami mengikuti naluri dan kebutuhan penduduknya.

Di Indonesia jarang sekali ada kota yang pada awalnya dirancang secara sadar dan diatur sedemikian rupa. Sebagian besar adalah kota yang tumbuh secara alami mengikuti naluri kebutuhan warga dan pemodal.

Hasilnya terlihat kini dalam bentuk tata kota tak beraturan cenderung semrawut. Bahkan dalam banyak kasus, pembangunan mengabaikan bentang alam yang semestinya tak boleh dibangun seperti sempadan sungai dan daerah resapan air.

Maka tak heran jika bencana alam tiba warga kota kalang kabut. Banjir datang karena saluran air telah ditumbuhi beton dan dibebat aspal. Belum lagi ketika kebakaran maupun gempa. Kota yang tak teratur menyulitkan evakuasi.

Karena itu diantara sedikit kota yang dibangun dengan grand design, Cakranegara adalah pengecualian. Ini adalah kota yang dibangun ulang di permulaan abad ke-18 oleh klan Karangasem yang berkuasa di masa itu. Kota ini kemudian disempurnakan kembali oleh dinasti Kerajaan Mataram setelah perang suadara 1838.

Kota yang didesain berdasarkan mitologi Hindu. Dataran rendah Cakranegara dibagi dalam blok-blok pemukiman dengan menempatkan Pura Meru Mayura berada di tengah. Sementara di sisi barat terdapat Pura Dalem, Karang Jangkong dan Pura Puseh di pojok sebelah timur. Ini adalah formasi kota-kota kuno di Bali.

Baca Juga:
Pemimpin Suriah Pertama Kali Berkunjung Ke UEA, Sejak Perang Saudara 11 Tahun Lalu

Sisa-sia keteraturan Cakranegara masih bisa kita lihat kini. Cakra dibagi oleh dua jalur arteri utama (marga sanga) yang saling menyilang. Yakni jalan Pejanggik-Selaparang yang membelah timur-barat dari Karang Jangkong hingga Sweta.

Kemudian dari utara-selatan ada jalan Sultan Hasanudin–AA Gede Ngurah yang menghubungkan Karang Taliwang dan Abian Tubuh. Dua jalur ini bertemu di perempatan Cakranegara di depan Hotel Lombok Plaza kini.

Penataan jalan-jalan lebar ini memudahkan lalulintas orang dan barang dan tentu saja baik untuk pertahanan sebuah pusat pemerintahan. Cakra dibangun tepat di tengah jalur yang menghubungkan Pelabuhan Ampenan dan Labuhan Lombok. Jalan ini juga menghubungkan akses Cakra dengan Pelabuhan Lembar dan Lombok Utara.

Lebih dari itu penataan ini memungkinkan sisi jalan ditumbuhi pohon-pohon pelindung. Kemudian dilengapi saluran drainase yang terhubung dengan kanal-kanal lebih besar menuju sungai. Hal inilah yang membuat Cakra selalu siap menghadapi banjir karena pemukiman dibangun lengkap dengan sistem pembuangan yang terpadu.

Sementara itu setiap lingkungan (karang) dibagi melintang utara-selatan dengan jalan-jalan yang sedikit lebih sempit atau yang dikenal dengan Marga Dasa. Di ujung barat misalnya ruas-ruas ini menghubungkan Jalan Kebudayaan di Utara dengan Jalan Songket di selatan.

Karena itulah warga yang ingin pergi dari satu titik ke titik lain takkan tersesat karena semua jalur marga dasa akan memiliki persilangan dengan jalur utama Marga Sanga.

Baca Juga:
Dipakaikan Baju Bagaikan Manusia, Ibu di Sulsel Akui Jika Biawak ini Adalah Anaknya

Shuji Funo dalam Cakranegara, A Unique Hindu City In Lombok menyebut awalnya Cakranegara dirancang untuk 33 banjar (lingkungan). Angka 33 merujuk pada bilangan khusus dalam kepercayaan Hindu dimana ada 33 dewa yang menghuni Puncak Meru (Mahameru).

Dalam desainnya, satu lingkungan (karang) terdiri atas 80 kapling rumah yang terbagi atas empat marga. Satu marga memanjang utara selatan tersusun atas 20 kapling rumah yang saling memunggungi.

Hal inilah yang membuat setiap rumah akan berhadapan langsung dengan jalan baik jalan marga sanga (jalan utama) marga dasa (jalan lingkungan) dan marga (jalan kecil/gang). Dengan pengaturan ini setiap keluarga akan menempati satu kapling lahan dengan luas antara 6-8 are.

Selayaknya sebuah Super Cluster dalam perumahan modern Cakra juga dilengkapi ruang-ruang publik dan pusat perekonomian. Selain Pura Miru hampir semua lingkungan memiliki Pura.

Kemudian sebagai pusat ekonomi Pasar Cakra dibangun. Ini adalah bentuk umum pasar-pasar lama baik di Jawa dan Bali yang berdiri tak jauh dari gerbang Pura yang masih bisa dilihat hingga kini. Kemudian pemandian-pemandian umum, alun-alun Cilinaya dan lainnya.

Sebagai daerah koloni Karangasem, nama-nama kampung di Cakranegara juga banyak diambil dari nama-nama tempat di Bali. Seperti Karang Ujung, Sindu, Pondok Perasi, Pagutan, Karang Tangkeban, Tohpati dan lainnya.

Baca Juga:
Miris! Tak Diharapkan Kelahirannya, Bayi Ini Dibuang ke Dalam Toilet Oleh Ibunya

Tatakelola Hindu-Bali yang dianut dalam penataan Kota Cakranegara juga berpengaruh pada pengaturan penghuni daerah perumahan di distribusikan menurut empat kasta yang ada, Brahmana, Kesatriya, Weisya dan Sudra.

Menurut Fono (1991) dalam sistem Kota Cakranegara kebanyakan para Brahmana tinggal di sebelah Utara dan Timur. Ini mengacu pada arah Timur laut adalah arah yang dianggap suci mengikuti arah Gunung Rinjani.

Sedangkan kasta Ksatriya sebagian besar banyak yang tinggal disebelah Barat. Kasta Weisya banyak yang tingal disebelah Timur. Sementara kasta sudra atau Bali biasa, banyak hidup di semua bagian blok sesuai aturan kerajaan.

Lalu dimana posisi masyarakat non Hindu-Bali bertempat tinggal?. Karena merupakan pusat pemerintahan kerajaan Hindu, Cakranegara memang lebih diperuntukkan untuk masyarakat Bali. Sementara masyarakat Sasak sebagai mayoritas tinggal di perkampungan-perkampungan sekitar Cakranegara.

Namun demikian menurut Suprapto dalam Semerbak Dupa di Pulau Seribu Masjid sejumlah perkampungan Muslim Sasak diizinkan berdiri diantara perkampungan Bali di Cakra dan Mataram.

Namun terbatas bagi mereka yang memiliki keterampilan khusus. Seperti para perawat gamelan di Karang Kemong, perajin emas di Kamasan dan Sekarbela, juru masak di Karang Tapen dan Pelaras dan pembuat Senjata di Karang Bedil.

Baca Juga:
Orang Asing Dilarang Beli Rumah DI Kanada Selama 2 Tahun Kedepan, Ada Apa?

Lalu bagaimana dengan warga negara asing? Kerajaan Mataram di masa itu mencapai puncak kejayaan. Mereka mengembangkan Ampenan sebagai pelbuhan utama. Naturalis Inggris Alfred Russel Wallace dalam The Malay Archipelago menyebut di Ampenan terdapai banyak kantor-kantor perwakilan perusahaan Asing dari berbagai negara Eropa. Inggris, Amerika, Denmark, China dan lainnya.

Sementara untuk tamu-tamu kerajaan dari mancanegara, Raja memiliki komplek penginapan bernama Bogor. Komplek ini kini berada di sisi selatan Taman Sangkareang Mataram.

Cakranegara Sebagai Pusat Niaga

Wajah Kota Cakranegara berubah seiring dengan runtuhnya dinasti Mataram. Perang melelahkan dengan kolaisi Timuq Juring dan Belanda di tahun 1894 mengakhiri riwayat kerajaan ini. Selepas perang hampir seluruh perkampungan Bali di Mataram dan Cakra dihancurkan. Harta kerajaan dijarah.

Wouter Cool dalam Lombok Expeditie menyebut setelah perang Belanda membawa banyak harta rampasan dari Cakranegara dalam berbagai bentuk benda berharga. Yakni 453 Kilogram emas, 3173 kilogram harta berbahan perak dan 75 peti permata dan batuan mulia lainnya. Ini belum termasuk benda benda penting seperti senjata dan naskah-naskah kuno di perpustakaan kerajaan Mataram.

Sementara sisa-sisa keluarga Kerajaan Mataram yang selamat ditangkap dan diasingkan. Mereka tak diperkenankan bersatu kembali dengan jalan diasingkan terpisah di Batavia, Cianjur, Sulawesi dan Bengkulu. Sementara sebagai penguasa baru, Belanda membawa para bangsawan Bali dari Buleleng untuk memimpin Cakranegara.

Baca Juga:
Parah! Tabrak Wanita Hamil Sampai Meninggal, Pelaku Justru Buang Korban ke Dalam Selokan

Setelah kekuasaan belanda benar-benar pulih, Belanda lebih memilih Mataram sebagai pusat pemerintahan. Sementara Cakra bergerak sebagai pusat niaga.

Bersamaan dengan itu pola hunian dan kepemilikan lahan di Cakra tak lagi berdasar kasta. Semua orang bebas memiliki lahan selama tak bertentangan dengan aturan Kolonial Belanda. Sejak saat inilah Cakra menjadi lebih heterogen.

Mayarakat Sasak yang dulu berada di luar boleh masuk selama mampu membeli lahan. Kemudian etnis lain seperti Cina, Arab, Bugis, Jawa dan lainnya bisa berdampingan dengan masyarakat Hindu-Bali yang sebelumnya menguasai kota.

Hasilnya bisa dilihat kini, Cakra tak hanya didominasi Pura. Rumah ibadah lain seperti Masjid, Vihara hingga Gereja dapat ditemui. Namun di balik itu struktur kota yang dibangun dalam pola grid ini masih bertahan hingga kini. Sayang keteraturan penataan tata Cakranegara tak dikembangkan pemerintah di wilayah lainnya.

(Rik)

Komentar

Terbaru