MANAberita.com – MENKO Polhukam Mahfud MD menjadi sorotan lantaran unggahan karikatur ‘hukum dibeli’ hingga pernyataan terkait indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai pernyataan-pernyataan Mahfud selaku Menko yang membawahi bidang hukum itu hanya gimik belaka.
PBHI pun memberi gelar ‘King of Gimmick’ kepada Mahfud. Menurutnya, pernyataan-pernyataan Mahfud melengkapi gelar ‘King of Lip Service’ yang sempat ‘didaulat’ aktivis mahasiswa kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
“Dari berbagai macam pernyataannya itu Mahfud melengkapi karakter dari Presiden Joko Widodo di hadapan masyarakat. Kalau dulu presidennya dikasih julukan King of Lip Service dengan demikian Mahfud menambahkan drama yang dimainkan menjadi King of Gimmick,” kata Julius, Kamis (2/2) malam.
“Yang saya lihat Mahfud dalam berbagai macam statement mengeluarkan gimik,” imbuhnya.
Julius malah menilai Mahfud ingin menunjukkan dirinya eksis lewat gimik-gimik merespons hal yang menjadi kritikan masyarakat terkait kondisi miris hukum Indonesia.
Menurutnya, pesan yang ingin ditunjukkan Mahfud dalam hal itu adalah mengamini seolah-olah pemerintah tengah menghadapi persoalan itu secara serius, sehingga mengubah persepsi publik bahwa pemerintah yang dulu tutup mata kini telah melihat permasalahan tersebut.
Namun fakta yang ada justru menunjukkan bahwa Mahfud tak berupaya memperbaiki sistem yang telah bobrok di negara ini.
“Tapi faktanya ini gimik karena tidak satu pun terlihat program-program dari Menko Polhukam yang dibawahi oleh Mahfud MD itu sendiri menunjukkan upaya-upaya untuk memperbaiki sistem yang telah bobrok ini,” ujar Julius.
“Jadi kita lihat ya bener hanya gimik belaka, menyuapi, memberi makan ke publik fenomena, public fear, ketakutan masyarakat, public question, tapi jawabnya dengan gimik. Memainkan emosi publik. Ini satu psikologi politik yang sudah kelihatan ini hanya strategi belaka,” sambungnya.
Mahfud sebelumnya sempat mengunggah karikatur soal rakyat meminta keadilan namun disuruh membeli.
Menurut Julius, jika fenomena itu dilihat dari perspektif institusional hukum tata negara, maka kebobrokan hukum itu seharusnya menjadi tanggungjawab Mahfud.
“Kalau kita lihat dari aspek yang lain di luar hukum dan ketatanegaraan maka terlihat dia seperti mau cuci dosa, bukan cuci tangan. Seolah-olah dia mau mengatakan begini ‘kita sudah mengupayakan kok, kita sudah bentengi dan jaga tapi orang-orang ini masih bisa dibeli juga. Jadi bukan salah kami’,” ucap Julius.
Ia menilai Mahfud seolah-olah menunjukkan masalah integritas aparat penegak hukum adalah masalah personal yang tidak bisa dijawab melalui program-program institusional, dan pendekatan personal pun ini tidak bisa masuk terlalu dalam karena akan dianggap intervensi terhadap pribadi dari para pejabat hukum tersebut.
“Seolah-olah dia melemparkan wacana seperti itu, padahal tidak. Kebalikannya. Program-program yang menjamin integritas itu nihil malah membuka ruang korupsi yang begitu besar,” kata Julius.
Julius menyebut terpukulnya Mahfud ketika mengetahui Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2022 berada di skor 34, atau terburuk sejak reformasi 1998 juga upaya untuk cuci tangan.
“Terpukul, kaget, syok itu juga bagian dari gimik untuk cuci tangan,” ujar Julius.
(sas)