Tradisi Brandu Disebut Sebagai Biang Kerok Masifnya Penularan Antraks di Gunungkidul

  • Sabtu, 08 Juli 2023 - 21:38 WIB
  • Nasional

Manaberita.com – PENYAKIT Antraks yang menular kepada puluhan warga Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta jadi buah bibir. Tradisi brandu disebut-sebut sebagai biang kerok masifnya penularan.

Apa sebenarnya tradisi brandu?

Penularan antraks sebenarnya bukan barang baru di Gunungkidul. Dalam beberapa tahun terakhir, penularan antraks terus ditemukan di sana.

Dilansir dari CNN Indonesia, Kementerian Pertanian menyebut tradisi brandu atau purak jadi salah satu faktor yang meningkatkan risiko penularan antraks di sana.

Pemotongan sapi atau kambing yang sakit atau mati berkaitan dengan tradisi purak atau brandu.

Dalam sebuah investigasi oleh Balai Besar Veteriner Wates dan Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Gunungkidul, disebutkan bahwa tradisi ini merupakan pemotongan sapi dan kambing sakit yang dipotong paksa. Lalu, daging diperjualbelikan ke tetangga dengan harga di bawah standar.

Peneliti menyebut, warga sebenarnya sadar akan risiko antraks dan larangan mengonsumsi ternak yang sakit atau mati mendadak. Namun, hal ini sering diabaikan.

“Tradisi memotong/ menyembelih ternak yang kedapatan mati mendadak oleh peternak pedesaan di negara berkembang (termasuk di Indonesia) sulit dihilangkan, mengingat pada umumnya ternak tidak disembelih di tempat pemotongan resmi (rumah pemotongan hewan),” tulis peneliti.

Baca Juga:
Hati-hati! Ancaman Flu Saat Hujan Melanda, Tetap Waspada

Ada dugaan tradisi terus berjalan akibat kondisi sosial-ekonomi masyarakat pedesaan. Dari sisi peternak, ada dorongan untuk mempertahankan nilai ekonomi dari ternak yang mati.

Dari sisi masyarakat, tradisi ini dianggap sebagai asas gotong royong dan bentuk kepedulian terhadap warga yang mengalami musibah.

Kabid Kesehatan Hewan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Retno Widyastuti mengakui, tradisi brandu membuat kasus antraks terus bermunculan di Gunungkidul.

“Itu adalah salah satu hal membikin kita [Kabupaten Gunungkidul] tidak berhenti-berhenti ada antraks itu mergane (karena) kalau dipotong itu, kan, bakteri yang ada di darah itu mengalir keluar berubah menjadi spora. Spora itu yang tahan puluhan tahun,” kata Retno ditemui di Kantor Pemkab Gunungkidul, Rabu (5/7).

Baca Juga:
Apakah Daging Merah Olahan Lebih Tidak Sehat Dari Daging Merah Lainnya? Bagaimana Dengan Makanan Olahan Lainnya?

Saat ditanya ke warga, Retno bercerita bahwa tujuan brandu pada dasarnya memang baik. Brandu bertujuan agar peternak tidak rugi besar. Daging dipotong, lalu dijual dalam bentuk paket dan uang yang terkumpul diberikan pada peternak.

Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Kementan Syamsul Ma’arif menambahkan, iuran ini sifatnya untuk menghibur pemilik ternak yang kehilangan hewan ternaknya.

Hanya saja, tradisi ini justru membawa petaka buat warga. Sifat bakteri penyebab antraks, Bacillus anthracis, akan membentuk spora saat terpapar udara terbuka. Syamsul menjelaskan karena sifat ini, konsumsi daging hewan yang terpapar antraks sangat dilarang.

“Bisa enggak itu direbus dan aman dikonsumsi? Tidak boleh. Dibuka [dibedah] saja tidak boleh,” kata Syamsul dalam kesempatan serupa.

Baca Juga:
Pakistan Yang Dilanda Banjir Membuat Orang-orang Sekarat Karena Penyakit Yang Terbawa Air

Pakar kedokteran hewan Universitas Airlangga (UNAIR) Nusdianto Triakso mengatakan bahwa brandu atau purak merupakan kebiasaan yang umum ditemukan di Indonesia.

“Kalau di tempat lain biasa disebut dengan ‘dipurak’ atau pemotongan dan pembagian daging hewan ternak yang hampir atau sudah mati,” kata Nusdianto.

Meski tak semua ternak yang sakit positif antraks, namun kebiasaan mengkonsumsi hewan ternak yang mati adalah pilihan yang salah. Nusdianto menyoroti pentingnya edukasi untuk masyarakat.

(Rik)

Komentar

Terbaru