Manaberita.com – DALAM beberapa hari terakhir, ribuan warga Sri Lanka turun ke jalan menuntut pengunduran diri Presiden Gotabaya Rajapaksa . Hal ini terjadi karena negara tersebut sedang menghadapi krisis ekonomi terburuk sejak memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948.
Melansir dari BBC, Selasa, 12 April 2022, negara kepulauan itu sedang mengalami kekurangan pangan, lonjakan harga-harga, dan pemadaman listrik.
Tabib Pembuat Ramuan Antivirus Corona Malah Meninggal Karena Covid-19
Permasalahan di Sri Lanka terjadi karena cadangan mata uang asingnya hampir habis. Hal ini berarti, negara Sri Lanka tidak mampu membayar impor makanan pokok dan bahan bakar yang menyebabkan pada kelangkaan akut dan harga yang sangat tinggi.
Pemerintah menyalahkan pandemi yang menyebabkan kunjungan turis terhenti. Hal tersebut merupakan salah satu penghasil mata uang asing terbesar di negara tersebut.
Tak hanya itu, para turis juga ketakutan dengan serangkaian serangan bom mematikan di gereja-gereja tiga tahun lalu.
Namun, banyak ahli mengatakan salah urus ekonomi ialah penyebabnya. Ada banyak faktor, namun yang utama adalah bahwa pada akhir 30 tahun perang saudara pada tahun 2009, Sri Lanka memilih untuk lebih fokus pada pasar domestik daripada mengekspor ke luar negeri. Jadi pendapatan dari ekspor rendah, sementara tagihan impor terus bertambah.
Pemerintah juga membuat utang menumpuk dalam jumlah besar untuk mendanai proyek infrastruktur yang tidak terlalu diperlukan. Pada akhir 2019, Sri Lanka memiliki cadangan mata uang asing sebesar US$7,6 miliar, namun pada Maret 2020 hanya tersisa menjadi US$2,3 miliar.
Ketika berkuasa pada tahun 2019, Presiden Rajapaksa memutuskan untuk memotong pajak. Ini berarti pemerintah memiliki lebih sedikit uang untuk membeli mata uang asing di pasar internasional untuk meningkatkan cadangannya.
Kekurangan mata uang Sri Lanka menjadi masalah yang sangat besar pada awal 2021. Pemerintah mencoba menghentikan arus keluar mata uang asing dengan melarang semua impor pupuk kimia, dan meminta petani menggunakan pupuk organik. Hal ini menyebabkan kegagalan panen yang meluas.
Sri Lanka harus menambah stok makanannya dari luar negeri, yang membuat kekurangan mata uang asingnya semakin parah. Sejak itu, pemerintah telah melarang impor berbagai macam barang ‘tidak penting’ dari mobil hingga jenis makanan tertentu dan bahkan sepatu.
Salah satu cara negara dapat meningkatkan ekspor mereka adalah dengan memotong nilai mata uang, tetapi pemerintah menolak untuk membiarkan rupee Sri Lanka jatuh terhadap mata uang lainnya. Akhirnya terjadi pada Maret 2022 rupee turun lebih dari 30% terhadap dolar AS.
Sementara, pemerintah Sri Lanka harus mengumpulkan US$ 7 miliar dalam mata uang asing tahun ini untuk membayar utangnya. Pembayaran serupa juga harus dilakukan pada tahun-tahun mendatang.
Pemerintah ingin membuat kesepakatan keuangan baru untuk melunasi utangnya, tetapi peringkat kreditnya telah jatuh sangat rendah sehingga sangat sedikit lembaga yang mau meminjamkan uang. Akibatnya, cadangan devisanya habis hanya untuk membayar bunga pinjaman saat ini.
(sas)