Manaberita.com – PERANG antara Rusia-Ukraina yang tak kunjung selesai ternyata bukan apa-apa jika dibandingkan dengan hubungan China-Taiwan yang memanas dan (amit-amit) jika sampai terjadi perang.
“Dampaknya akan lebih dahsyat. Dampak ke Indonesia lebih besar karena hubungan dagang kita dengan Taiwan dan China lebih tinggi,” kata Teuku
Ahli hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran, Rezasyah memgatakan Indonesia jelas punya hubungan ekonomi dengan Republik Rakyat China (RRC), juga Taiwan.
Taiwan merupakan penghasil produk-produk teknologi yang perannya vital bagi dunia, termasuk Indonesia.
Taiwan punya kemampuan memproduksi chip, mikroprosesor, dan produk teknologi-informasi, tidak kalah maju dibanding Korea Selatan dan Jepang. Tak hanya itu, banyak pula orang Indonesia yang bekerja di Taiwan.
“Ada 300 ribu warga negara Indonesia (WNI) di Taiwan yang harus dilindungi. Itu berat,” imbuh Reza. Banyak warga negara Indonesia mencari nafkah di Taiwan. Jumlahnya belum dihitung bersama anggota keluarga di Tanah Air yang harus mereka hidupi.
Reza menjelaskan Taiwan telah selalu bersiaga perang dengan China sejak 1949, usai China dikuasai Partai Komunis pimpinan Mao Zedong.
Warga Taiwan juga menjalani wajib militer. Taiwan kemudian mendapat dukungan dari Amerika Serikat (AS). Dan saat ini, 2022, situasi memanas usai Nancy Pelosi, Ketua DPR AS berkunjung.
“Kalau terjadi serangan dari China, maka akan terjadi pembalasan yang dahsyat. Kalau orang Jawa bilang, mati siji mati kabeh (bila ada yang mati satu maka semua bakal mati sekalian),” kata Rezasyah.
Sementara itu, Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional UI sekaligus Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani, menilai potensi konflik ini muncul gara-gara ulah Amerika Serikat (AS) lewat kunjungan Nancy Pelosi. Ulah AS bakal merugikan banyak pihak.
“Akibat provokasi yang dilakukan oleh AS maka dunia akan terdampak sangat luar biasa,” kata Hikmahanto.
China bisa saja beraliansi dengan Rusia untuk melawan AS. Namun AS dia prediksi tak akan terlibat langsung dalam perang bila China dan Taiwan benar-benar berperang.
“AS seperti di Ukraina hanya akan memasok senjata, uang, dan mengajak sekutu-sekutunya melakukan embargo ekonomi,” kata Hikmahanto.
China yang beribu kota di Beijing menganggap Taiwan sebagai provinsinya yang harus kembali bersatu. Namun Taiwan yang beribu kota di Taipei jelas sudah punya Presiden dan menyatakan diri sebagai negara yang berdaulat, namanya adalah Republik China (Republik of China/ROC), terpisah dengan Republik Rakyat China (People’s Republic of China/PRC).
Pemerintah Taiwan sebelumnya mengatakan bila memang perang tersebut terjadi maka akan berdampak jauh lebih parah dibandingkan perang Rusia-Ukraina yang saat ini berlangsung.
Pasalnya karena kedua negara tersebut memainkan peran yang penting dalam jalur rantai pasok dan perdagangan global.
“Gangguan pada rantai pasokan internasional; gangguan pada tatanan ekonomi internasional; dan (gangguan) peluang untuk tumbuh akan jauh, jauh (lebih) signifikan daripada yang ini,” kata delegasi dagang Taipei John Deng dikutip Reuters. “Akan ada kekurangan pasokan di seluruh dunia.”
Salah satu yang bisa menjadi langka adalah chip semikonduktor. Taiwan adalah produsen besar dalam produksinya hingga US$ 118 miliar (atau setara Rp 1.742 triliun) pada 2021.
Chip semikonduktor sendiri merupakan bahan utama dalam pembuatan sejumlah barang elektronik mulai dari ponsel hingga kendaraan listrik. Taiwan sendiri tengah berupaya mengurangi ekspornya hingga 40% ke China.
Sementara itu, setahun belakangan ini China terus mempertegas klaimnya bahwa Taiwan merupakan bagian integral dari kedaulatannya.
Terbaru, negara pimpinan Presiden Xi Jinping itu sudah menugaskan ratusan jet tempur untuk terbang di wilayah zona pertahanan udara Taiwan atau yang biasa dikenal dengan nama ADIZ.
Isu mengenai potensi serangan China juga pernah diangkat oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Taiwan, Chiu Kuo-cheng, pada November lalu. Menteri yang berasal dari latar belakang militer itu memprediksi sinyal invasi terjadi pada 2025 mendatang.
“Saat ini, PLA (tentara China) mampu melakukan blokade bersama lokal terhadap pelabuhan kritis, bandara, dan rute penerbangan keluar kami, untuk memutus jalur komunikasi udara dan laut kami dan berdampak pada aliran pasokan militer dan sumber daya logistik kami,” papar kementerian itu dikutip Channel News Asia (CNA).
Sementara itu, Amerika Serikat (AS) sendiri saat ini getol dalam membela Taipei dan menentang klaim Beijing. Bahkan, dalam KTT aliansi Quad di Jepang akhir bulan lalu, Presiden AS Joe Biden pun mengatakan bahwa Washington akan melakukan campur tangan secara militer jika China tetap mencoba untuk mengambil Taiwan dengan paksa.
(Rik)