Bayi dibawa narik angkot
MANAberita.com —BILQIS Choirun Nisa, bayi berusia 3,5 bulan, setiap hari harus menghirup pekatnya asap kendaraan di Kota Semarang.
Sang ayah, Nurul Mukminin (46), yang bekerja sebagai sopir angkot trayek Johar-Mangkang terpaksa membawa bayinya saat mencari nafkah.
Istrinya atau ibunda Bilqis, Ariani Dwi Setyowati (21), telah meninggal pada November 2019 lalu.
“Saya terpaksa mengajak bayi saya bekerja.
Kalau saya tinggal sendirian di rumah tidak mungkin. Sempat saya titipkan ke tetangga untuk mengasuh Bilqis tapi saya tidak kuat membayar, ” kata Nurul Mukminin.
Nurul sudah mengajak bayinya bekerja sekira sebulan ini.
Meski membawa bayi membuatnya lebih repot saat narik angkot, dia mengaku tidak ada pilihan lain.
Keputusan itu tidak jarang membuat Nurul menerima banyak cibiran, baik dari tetangga maupun penumpang.
Mereka menganggap Nurul kejam sebab tega membawa bayi yang masih mungil bekerja.
“Malah ada yang bilang ke saya, tega sekali bayi merah segitu diajak narik angkot. Namun mau bagaimana lagi, keadaan tidak memungkinkan. Tentu setiap orangtua tidak menginginkan kondisi seperti ini, begitu pun saya, ” jelasnya.
Di sisi lain, banyak pula orang yang simpati dan menaruh rasa kasihan kepada Nurul dan bayinya.
Beberapa penumpang sampai meneteskan air mata melihat Bilqis yang tergolek di kursi depan. Terkadang ada pula penumpang yang memberikan uang lebih saat membayar.
Ketika akan dikembalikan oleh Nurul mereka menolak. “Bahkan pernah ketika sedang sholat maghrib di daerah Johar, saya letakkan bayi di sebelah saya. Saat itu ada seorang ibu yang selesai sholat langsung sigap menenangkan anak saya agar tidak menangis,” kenangnya.
Kepedulian itu membuat Nurul langsung menitikkan air mata di dalam ibadah. Perantau asal Bengkulu ini merasa terharu karena di Semarang masih banyak orang yang peduli sesama.
Nurul dan Bilqis setiap hari berangkat bekerja dari rumah kontrakannya di Karangsari Timur, Wonosari, Kecamatan Ngaliyan pukul 06.00. Mereka pulang sekitar pukul 22.00.
Ketika berangkat, Nurul sekaligus mengantarkan anaknya yang pertama, Balqis Choirun Najwa (7), pergi bersekolah di SD Pancasila Semarang.
Dia lantas menjemputnya pukul 10.30 saat Balqis pulang sekolah. Setelah itu, mereka bertiga bersama di dalam angkot sampai malam.
“Daripada saya tinggal di rumah kepikiran, bareng bertiga seperti ini saya lebih tenang.
Beginilah hidup jadi orangtua sendiri.
Apa pun itu harus tetap dijalani demi masa depan anak-anak, ” jelasnya
Sebagai sopir angkot, Nurul mampu mengantongi uang Rp 50 ribu hingga Rp 70 ribu per hari setelah dipotong setoran dan bensin.
“Setelah potong setoran dan bensin dapat segitu.
Belum kepotong pampers dan susu anak-anak, sisanya buat makan, ” jelasnya.
Pagi itu, sambil berkonsentrasi menyetir, Nurul tak pernah luput memantau keadaan Bilqis.
Jika bayi mungil itu mengoceh atau menangis karena lapar, dia segera menyorongkan botol susu.
Si kecil Bilqis pun anteng menyedot susu dalam botol.
Matanya yang bulat terlihat menggemaskan, menatap ke langit-langit angkot.
Dia juga anteng ketika menyedot empeng, tangannya sesekali seolah ingin menggenggam.
Balqis, kakaknya, memperhatikan sang adik dari bangku penumpang tepat di belakang Nurul.
Setibanya di SD Pancasila, Balqis turun dari angkot setelah mencium tangan ayah.
Dia masuk ke dalam sekolah diantar pandangan Nurul dan celotehan Bilqis.
Selain terus berjuang menghidupi kedua anaknya, dia juga harus segera melunasi biaya persalinan Bilqis yang masih menunggak di rumah sakit.
“Saya masih punya tunggakan di sana Rp 9,3 juta.
Perjanjiannya enam bulan setelah melahirkan tepatnya pada April 2020 harus dilunasi, ” terangnya melansir Tribunjateng Jumat (07/02).
Menurut Nurul, tunggakan terjadi lantaran pada 18 Oktober 2019 istrinya melahirkan secara caesar, Bilqis pun lahir secara prematur pada usia kandungan 7 bulan.
Berat bayi ini ketika lahir 1,6 kilogram.
“Saat itu kami hanya punya tabungan Rp 4 juta. Padahal kondisi istri saya harus melakukan operasi karena posisi bayi di kandungan dalam kondisi sungsang, ” ungkapnya.
Setelah negosiasi panjang dengan rumah sakit, operasi itu dilakukan.
Dia bersyukur bayi dan istrinya dapat selamat.
“Biaya persalinan ada dua bagian.
Pertama biaya bayi Rp 2,5 juta dan istri Rp 10,8 juta,” paparnya.
Nurul mengaku kesulitan untuk membayar tunggakan biaya rumah sakit tersebut.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, dia serba terbatas.
Namun, perantau asal Bengkulu di Semarang ini tidak merasa putus asa.
“Saya berusaha tetap membayar tunggakan itu karena utang harus dibayar.
Insyaallah April saya ke RSUP Kariadi, membayar semampunya dulu, ” katanya.
Nurul tinggal bersama Bilqis dan Balqis di rumah kontrakan, Karangsari Timur RT 10 RW 10, Wonosari, Kecamatan Ngaliyan. (Alz)