MANAberita.com – PERATURAN Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) ternyata tak menjamin cuti haid dan cuti melahirkan bagi pekerja perempuan, beserta upahnya selama mengambil dua cuti itu.
Dalam Perppu yang mencabut UU Cipta Kerja tersebut, tema cuti dimuat dalam Pasal 79.
“Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada Pekerja/Buruh, yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah Pekerja/Buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus,” bunyi Pasal 79 ayat (3), menjabarkan jenis-jenis cuti tersebut.
Opsi pemberian dua hak cuti khusus tersebut dapat diatur pengusaha dalam produk hukum turunan lainnya seperti peraturan perusahaan atau perjanjian kerja.
“Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2l., dan ayat (3), Perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama,” bunyi Pasal 79 ayat (5) Perppu Cipta Kerja.
Padahal, dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berlaku sebelumnya, dua hak khusus bagi pekerja perempuan ini dimuat dalam UU.
Cuti haid bagi pekerja perempuan dijamin melalui Pasal 81 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
“Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid,” bunyi aturan itu.
Sementara, cuti melahirkan dimuat dalam Pasal 82 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
“Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan,” bunyi Pasalnya.
Adapun jaminan bagi pekerja perempuan yang mengambil dua hak cuti tersebut tetap menerima gaji dijamin dalam Pasal 93 ayat (1) huruf b untuk cuti haid, dan Pasal 84 untuk cuti melahirkan.
Isu cuti haid dan melahirkan juga pernah menyeruak saat penyusunan UU Cipta Kerja pada 2020. Kelompok buruh ragu ketentuan tersebut hilang di Omnibus Law Cipta Kerja.
Namun, pemerintah membantah dua hak khusus tersebut dihapuskan dari Omnibus Law. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian melalui laman Twitter resminya @perekonomianri, menjelaskan istirahat panjang diatur di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Lalu, 30 Desember lalu Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu Cipta Kerja untuk mencabut UU Cipta Kerja yang telah divonis Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai produk hukum inkonstitusional bersyarat.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim penerbitan Perppu ini sudah sesuai dengan Putusan MK Nomor 38/PUU7/2009. Menurutnya, Perppu ini telah memenuhi syarat kegentingan yang memaksa.
(sas)