MANAberita.com – WAKIL Ketua Dewan Pers Agung Dharma Jaya menyebut jika Pasal 188 dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terbaru yang mengatur terkait Marxisme dapat mengancam kebebasan jurnalis.
Menurut Agung, pasal tersebut dapat membuat jurnalis dituntut pidana menggunakan RKUHP dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Pasal 188 mengenai marxisme, ini agak menarik juga, bahwa misalnya jurnalis agak bingung misal ada orang menyampaikan narasi marxisme kemudian kita memberitakan ini kan bisa UU ITE, bisa juga KUHP,” kata Agung saat melakukan pertemuan dengan Tim Ahli RKUHP Kemenkumham.
Mengutip CNN Indonesia, pada Pasal 188 ayat 1 dijelaskan bahwa setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.
Dewan Pers bertemu dengan jajaran Kementerian Hukum dan HAM membicarakan draf RKUHP terbaru dan pasal-pasal di dalamnya yang dinilai bisa bermasalah bagi kebebasan pers Indonesia.
Dalam pertemuan itu anggota Dewan Pers berdialog dengan Tim Ahli RUU KUHP yang dipimpin langsung Wamenkumham Edward OS Hiariej, Rabu (20/7).
Dewan Pers membeberkan pandangan mereka, utamanya terkait ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia yang bisa tertekan dari keberadaan pasal-pasal bermasalah dalam draf RKUHP terbaru.
Selain pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers, Dewan Pers juga menyoroti Pasal buatan kolonial yang masih dimuat. Satu di antaranya Pasal 217 tentang pidana atas penghinaan Presiden dan Wakil Presiden.
Menurut Dewan Pers, pasal-pasal peninggalan kolonial harus diganti. Apalagi, Pasal itu dibuat berpuluh tahun lalu.
“Sudah 53 tahun berbicara produk ini, berharap kan produk kolonial bisa diganti,” kata dia.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra mendesak DPR dan pemerintah selaku pembuat undang-undang untuk menghapus pasal-pasal dalam draf RKUHP terbaru yang disinyalir mengancam kemerdekaan pers.
Azyumardi mengatakan hal demikian, karena menilai pembuat undang-undang sejauh ini tidak mengindahkan delapan poin keberatan Dewan Pers terhadap sejumlah pasal dalam draf RKUHP 2019 pada naskah yang terbaru.
“Setelah mempelajari materi RUU KUHP versi terakhir 4 Juli 2022, Dewan Pers tidak melihat adanya perubahan pada delapan poin yang sudah diajukan,” kata Azyumardi di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Jumat (15/7).
“Untuk itu Dewan Pers menyatakan agar pasal-pasal di bawah ini dihapus karena berpotensi mengancam kemerdekaan pers, mengkriminalisasi karya jurnalistik dan bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam UU Pers 40/1999 tentang Pers,” imbuhnya.
Dewan Pers, kata Azyumardi, menilai pasal-pasal tersebut multitafsir dan berpotensi membelenggu kebebasan pers. Beberapa substansi dalam sejumlah pasal juga berpotensi mengancam kemerdekaan pers.
Sebagai informasi, draf RKUHP terbaru masih memuat pasal-pasal yang dianggap bermasalah. Pasal-pasal itu pernah diprotes besar-besaran pada 2019 silam karena dianggap overkriminalisasi dan tak sejalan dengan sistem demokrasi.
Saat itu, RKUHP kembali dibahas pemerintah dan DPR. Namun, koalisi sipil kembali memprotes. Selain masih memuat Pasal bermasalah, pembahasan RKUHP dianggap tertutup dan minim pelibatan sipil.
(sas)